Menulis Karena Gelisah Terhadap Sesuatu..

Nyonya Menir

Saat ini aku sedang duduk diatas anak tangga masjid Ule Lheu, Banda Aceh, bersama nyonya menir (Menir; panggilan kebesaran untuk nenekku yang kusematkan). Angin disini sangat bersahabat dengan ku, pelan, gemulai dan sopan dalam bergerak. Tapi kekuatannya tidak cukup maksimal untuk membuat rambut nyonya menir bergerak- gerak, tertiup kesana sini, hingga membuat wajahnya tertutup oleh helaian rambut dia sendiri seperti dulu saat menir masih gadis, yang masih bisa menikmati terpaan angin di tepian pantai yang landai nan berpasir lembut. Pagi ini, yang kulihat rambut menir sudah keras tidak mungkin angin mampu untuk meniup-niupnya melenggok kesana kemari.



Namanya juga orang sudah nenek ya gak menir? Pasti umurnya sudah diatas angka lima puluhan, jalannya sudah membungkuk, dan kedua kakinya harus ditemani sebatang tongkat. Berjalan hanya melihat tanah sepanjang perjalanan, hanaya satu pemandangan saja (hamparan tanah). Pemandangan akan berganti ke pemandangan yang baru, setelah menir jauh berjalan lalu berhenti diantara batas pasir dan dan ombak yang sedang bolak-balik menjilat-jilat batas pergelangan kaki menir yang sudah berhenti berjalan.

"Menir, menir, kamu sangat cantik dulu, kakek ku yang mengatakan itu kepadaku, dia sekaligus suamimu menir. Melihat rambutmu saja bisa membuat dia ling lung, melihat kau menengadah ia akan terpana karena diwaktu yang sama ia juga melihat lehermu yang begitu indah, putih bersih dari daki. Itu yang dikatakan suamimu ke aku semalam menir. Ia berbicara dalam tidurku."


Nyonya menir pagi ini tidak lagi sesempurna dan seanggun nyonya menir di pagi beberapa tahun silam, saat dia masih berusia 18 tahun dan menyandang gelar ABEGE, saat si menir masih berseragam putih abu-abu, menenteng tas kecil berisikan buku-buku dan alat tulis menuju sekolah kebanggannnya. Si menir yang masih tampil ayu, kece, cuek dan caem, bisa berjalan tegap, menoleh pelan, berwibawa. Menebar pesona ke segala penjuru dan ke siapa saja yang punya mata.

Namun pagi ini aku mendapati menir dalam keadaan yang lain. Sangat berbeda, derajatnya jauh berputar, bahkan mencapai angka 180 derajat, alias fisiknya berubah total jauh dari angka 18. Kulitnya tidak lagi kenceng tapi sudah kendor keriput (meu yek-yek), pinggulnya sudah tak lagi ramping malah rempong. Dan rambutnya mana mungkin lagi bisa lagi dikucir, toh sudah kayak bulu sapu ijuk, tegak tidak beraturan, keras (ceukang) jarang shampoan dan berbau aroma terapi tak sedap.

Dari semalam nyonya sudah berbisik ke saya, nak besok pagi, bagaimana kalau kita jalan-jalan mengitari tepi pantai ule lheu, aku (menir) ingin mengenang kembali saat aku dihempas gelombang tsunami di pagi minggu sekitar jam tujuh pagi lewat sedikit. Ku ingin mereflkeksi kembali bagaimana aku bisa terbang setinggi itu, melewati beberapa atap rumah nelayan dan diakhir penerbngan aku diistirahatkan diatas pokok kayu bercabang persis sepertii cabang ketepel." oh boleh menir, siapa takut, lagian besokkan orang-orang pada kesitu juga buat lihat-lihat keramaian dan laut yang diam.

Mendengar tawarannya mendapat persetujuan nyonya menir girang, sejenak menir bernyanyi...
"I believe i can flyyyyy..... Ya menir kamu betul sekali, kamu sudah membuktikan kalau kamu bisa terbang pagi itu, bahkan mengalahkan terbangnya para peselancar bersama alat selancar diatas tingginya gelombang ombak yang terbentuk di area laut lepas ini.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Recent Posts

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Pages