Episode Sebelumnya…
Siang ini, aku dan dua lagi temanku
yang cewek diharuskan bersatu dalam satu grup perjalanan untuk mengemis dan
menderma di dua daerah yang ada di seputaran Jawa tengah, purwokerto dan bumi
ayu. Mulai hari ini sampai tiga hari kedepan kami bertiga akan berjuang
bersama-sama, menangis bersama-sama, dan bernyanyi bersama-sama hingga mencapai
garis finish di cibubur. Perjalanan pun dimulai, aku, dian, dan ana stnk, yang
katanya kami ini adalah manusia diatas rata-rata yang terpilih mulai melangkahkan
kaki untuk mengenali diri di alam terbuka. Tiga orang manusia diatas rata-rata
yang kami perankan ini masuk dalam urutan angka 15 pada pembagian kelompok perjalanan ziarah diri bersama Gerakan Mari
Berbagi.
Selesai membagikan kelompok dan
penetapan daerah mengemis dan menderma, tugas mas hambar selanjutnya adalah
mengantar kami ke terminal, yang rute perjalanannya dimulai dari sumber boyong
menuju terminal kiwangan Jogja. (Duuuh, mas hambar ini baik banget deh).
Sebagian teman-teman yang satu bus dengan kami ada yang turun setengahnya di
separuh perjalanan menuju terminal bus kiwangan. Mereka turun sesuai dengan
penempatan di daerah mana yang telah diputuskan oleh panitia. Yang diantar mas
hambar hingga terminal Kiwangan hanya kelompok, Yuslizar, Munawar, Odit,
Julian, Monitta, dan aku munawar. Kami dilepas mas hambar di terminal kiwangan,
untuk selanjutanya mencari angkutan sendiri guna menuju daerah mengemis dan
menderma masing-masing. Sampai disini ya mas hambar, nanti kita bertemu lagi di
cibubur Jakarta, Aku masih pengen mendengar petikan gitarmu, greget suara
angklung teman-temanmu, dan pukulan perkusi dari mereka.
Episode Setelahnya...
Usai menikmati perjalan yang lumayan
melelahkan dari terminal kiwangan Jogja menuju termial Purwokerto, yang mengharuskan
kami menumpangi bus kelas ekonomi berstatus membosankan; tanpa ace,
berdesak-desakan, dikeroyok oleh asap rokok yang dihembuskan penumpang yang
tidak bertanggung jawab, ditambah lagi dengan merebaknya bau tak sedap, kecut
yang bisa dicium dari bangku paling belakang hingga ke bangku paling depan,
tempat pak sopir duduk menyetir. Aroma milik alam yang dibawa hembusan angin
lalu masuk lewat jendela tak berkaca. Akhir cerita perjalanan, sekitar jam
sepuluh tiga puluh malam, aku, dian, dan ana stnk tiba di terminal purwokerto
dengan selamat dan tidak kecopetan "Gusti, Gustiii..."
Saat aku masih berada di dalam bus,
beberapa kali aku melihat ke kedua wajah temanku yang cewek, "Ini siapa
yang bisa kuandalkan di tanah jawa?" Aku dan Dian sudah pasti beda jauh
(pengetahuan tentang tanah jawa minim), sudah pasti si Ana lah stnk yang
bakalan jadi andalan. "Yups."
Setengah jam lagi bus akan sampai, aku
mulai kalang kabut selaku pemimpin regu. "Ana, siapa saja yang telah kamu
hubungi, sebentar lagi kita akan sampai dan harus mencari penginapan,
Ana?" Bus butut itu terus melesat dengan tancapan akselerasi yang sangat
menggila. Asap biru yang bisa kuliahat lewat kaca belekang mengepul, menyisakan
bau terbakar. Satu persatu batas satu daerah ke daerah lain terlewati,
rambu-rambu jalan berganti begitu cepatnya, pepohonan seakan berlari menyamai
kecepatan Bus. Aku pening akibat mengitu atribut jalan dan pepohonan yang
berlari-lari tadi. Untung antimo si
pengusir pening masih tersisa.
"Gini lo mas, tadi aku sudah menginbok
ke beberapa teman organisasiku terkait penginapan kita
malam ini?" eh ada yang nyeletuk.
"Sek sek, tapi sudah ada
balasannya blom?" Ana kelihatan bingung memberi jawaban. Dian masih
tertidur dan ngoroknya gak kedengaran karena suara bus lebih besar dari suara
ngerok si Dian :p ampuuun dije. Sebentar lagi bus akan berhenti karena kata pak
kernet jarak Jogja-Purwokerto lebih kurang lima jam perjalanan. Empat jam
setengah sudah kami habiskan di jalan, tinggal satu atau setengah jam lagi,
baru bus yang bersuara jelek ini akan tiba di terminal Purwokerto. Kelompok
Aku, Yuslizar, Monita, Julian berada dalam satu bus tersebut, kami berangkat
sama-sama dari terminal Kiwangan.
Bus mulai mengebar gonggongannya dari
terminal Kiwanagan, pukul enam kurang lima belas. Perkiraan kotorku
menyimpulkan, sekitar jam sepuluh malam lewat bus ini akan sampai ke
pemberhentian. Dan kami harus mencari penginapan, itu pekerjaan rumah pertama
kami saat menginjakkan kaki di teminal Purwokerto.
"Gimana an, any good news?" mutar-mutar aja aku dari tadi, mikir dimana kami bakal menginap malam ini?
"Mas, malam ini kita akan
menginapa di sekret HMI cabang purwokerto, barusan teman fb ku yang bernama
(penulis lupa) sudah mengiyakan mas, kita akan menginap di sekret HMI malam
ini."
"Suroso, serius lo?"
"Njje mas (iya mas)." Dengan logat salatiganya yang kental diatas
rata rata. Aku mau bilang ke dia, "Hei an kamu lagi ngobrol dengan aku
dari Aceh, apaan si nje... njje, aku ngak ngeh, tahu." Hehe, tapi enggak
jadi, ngapain berdebat soal yang gituan, yang terpenting kamu sudah mencarikan
aku dan si Dian tempat penginapan. Itu sudah cukup dari lebih, atau sudah lebih
dari cukup.#Paan sih?
Entah dari mana angin segar itu
berhembus? gunung salju atau gurun pasir. Bodoh amat, yang penting angin segar
itu mengantarku ke sebuah penginapan yang levelnya dibawah rata-rata. Aku lega,
karena status tempat nginap kami sudah jelas.
Sekitar pukul sepuluh tiga puluh kami
sampai di terminal Purwokerto dengan selamat dan tidak kecopetan (Ini perlu
diualng-ulang, karena kata 'kecopetan' adalah kata yang paling kutakuti selama
perjalanan darat tersebut. Dian yang sudah bangun dari semedinya sekitar
sepuluh menit lalu, terlihat bugar kembali, dia merapikan rambutnya,
mengucek-ngucek kedua mata, lalu membenarkan letak gagang kacamatanya. Sebelum
memakainya kembali aku juga sempat melihat Dian mengelap kedua lensa
kacamatanya dengan pinggir potongan baju yang ia kenakan.
Dia bangkit dari bangku bus. Karena
postur tubuhnya yang tinggi besar hampir saja kepalanya kejedot plang tempat
berpegangan Bus. "Awas dian ada booom..!"
"Dimana mun?" Dian menjerit
memperlihatkan wajah bodoh bercampur aduk dengan wajah takutnya di dalam bus.
"Di Afghanistan yan."
"Dimana tu Afghanistam,"
Hari gini masih ada yang belum tahu dimana afghanistan, katanya penggemar
lagu-lagu Afghan, gimana sih."Ni sebentar lagi kita bakal nyampek ke
Afgha...,abis bumi ayu langsung afghanistan, yan."
Sudah, sudah, stop!, pariwaranya sudah
usai. Yok kita serius lagi.
Gara gara Dian hampir nyundul bom
tadi, aku jadi lupa mau nulis apaan. Ideku hilang terkena serpihan bom
Afghanistan yang Dian sundul. Tempat nginap sudah dapat, yang harus dipikirkan
sekarang adalah bagaimana kami kesana, ke base camp HMI cabang purwokerto itu.
"Dian kamu ada ide gak, dengan
apa kita kesana?" "Huammmm, apaaah?" nguapanya lebar banget,
wangi lagi. Kata apaah yang berhembus dari mulut Dian persis seperti suara
orang habis bangun tidur. Lha emang iya kan, si Dian baru bangun tidur dari bus
butut tadi.
....
Kami bertiga berjalan menuju celah
keluar terminal, jam sebelas gak ada lagi angkot atau kenderaan umum. Kami
terus berjalan terbopoh-bopoh memikul ransel masing-masing, terdengar suara
beberapa uang koin yang saling berbenturan disaku kami masing-masing (uang koin
itu kami simpan untuk, kalau saja nanti
dijalan kami berjumpa pengemis, ada yang bisa kami beri).
Dian jalan di tengah, Ana di depan,
dan aku menjaga si Dian so wajib berada di belakang. Terus melangkah menelusuri
gang-gang terminal, sesekali aku menoleh ke belakang, siapa tahu ada 'Suster
Ngesot' yang ngikutin atau bisa saja 'Mama Minta Pulsa', karena si mama tahu
kami punya banyak pulsa malam itu, hahai.
Yang aku takuti dari perjalanan ini
adalah adannya tidak kriminal atau aksi kejahatan para pelaku kriminal yang
memanfaatkan pendatang semisal membujuk kami malam itu untuk menikmati
tumpangan gratis, padahal buntut dari semua bujukan itu adalah modus pembunuhan.
Malam hari di tanah jajahan orang dan posisi kami bertiga adalah pendatang yang
meraba raba. Mengingat safety itu penting, makanya kami memilih menumpangi taxi
untuk menuju ke tujuan. Barangkali satu satunya kelompok ziarah diri yang
menggunakan jasa taxi selama ziarah diri adalah kelompok aku, dian, dan Ana
stnk, tidak ada yang lain. Kalau yang naik pesawat ada mas Yaumil, naik gunung
ada Bang Andi. Tapi yang naik Taxi selama ziarah diri cuma kami doang
Aku tahu, ini bukan Aceh. Kalau di
Aceh jika ada yang ngejar aku bisa manjat pohon, kalau disini palingan bisa
manjat tiang atau tower telpon.