Menulis Karena Gelisah Terhadap Sesuatu..

  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Menagih Jawaban


H. M. Nasir bin Abdul Wahab
(Almarhum, Jumat, 25 September 2020)


Jauh beberapa tahun setelah kuburan kakek dan nenekku kering, di waktu yang lain aku mencoba membujuk ayah supaya diceritakan kisah perjuangannya dalam menundukkan tantangan untuk tidak sekolah akibat ejekan, cemoohan dan ledekan orang-orang yang belum begitu mengenal peradaban pada saat itu. Setelah satu jam lebih aku duduk bersama ayah aku berhasil mengantongi beberapa catatan yang menjadi bagian dari kisah perjuangannya seperti yang sedang kutulis sekarang ini.

Aku mengulangi kembali pertanyaan yang pernah kutanyakan pada kakek semasa hidup beliau, menyangkut rasa penasaranku: Bagaimana ceritanya orang dulu itu cepat sekali diangkat jadi pegawai negeri? Orang dulu yang kumaksud termasuk ayahku. Pertanyaan yang singkat tersebut ternyata menghasilkan jawaban yang panjang dari ayah, hingga aku berpikir memilih menulisnya lebih bagus. Hmm, mungkin karena aku membuka obrolan dengan menggunakan perbendaharaan kata “ Bagaimana Ceritanya?” jadinya ayah bercerita sekarang.

Semasa ayahku dulu belum ada yang namanya seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ketentuan hukum alam yang berlaku pada zaman dahulu kala itu adalah, bagi siapa saja yang rajin sekolah, nanti setelah mereka tamat mereka langsung akan diangkat menjadi pegawai negeri, dulu sebutannya peugawe (dalam bahasa Aceh). Ayahku beruntung dikarenakan jumlah guru masih sangat sedikit. Dan pada saat itu juga minat orang yang mau sekolah juga sangat kecil. Menurut pandangan beliau, kalau dilihat-lihat ketekunan anak-anak sekarang, termasuk kita-kita ini yang kuliah. Sekiranya anak muda kayak kita hidup di masanya dulu, mungkin kita sudah diangkat jadi PNS atau bahkan lebih dari itu, jadi kepala dinas pendidikan lebih kurangnya

Sekolah di era ayahku atau ayah kalian juga banyak sekali tantangannya. “Coba kamu bayangkan saja,” kata ayahku di suatu malam saat kami sedang menikmati dua piring nasi goreng masak kampung di pinggir jalan kota, “ tiap pergi ke sekolah ayah  harus berjalan kaki yang jaraknya berkilo-kilo meter. Saat itu angkutan jenis labi-labi belum ditemukan,” Sejenak ayah berhenti bercerita, setelah menelan kemudian beliau memanggil salah seorang pelayan warung makan untuk memesan minuman: Jus Alpukat.


Sedang menikmati makan malam di pinggiran jalan kota

Lalu setelahnya ia melanjutkan cerita, “Dan jalan yang harus ayah lewati (ayah berpikir) itu pun tak layak disebut jalan, besarnya hanya dua kali diameter ban vespa temanmu yang anak motor itu.” Aku tergelak mendengar kata vespa karena yang terlintas adalah seekor hewan dalam bahasa Aceh "baneng" (alias kura-kura). Sembari berpikir diantara suara bising kenderaan yang berlalu lalang di jalana kota, “Kok perumpamaannya ban Vespa sih yah, kenapa gak yang lain.”  
Orang-orang yang pergi sekolah pada zaman dulu belum bisa menikmati jalan aspal bikinan pemerintah seperti sekarang ini, yang ada hanya jalan yang membelah antara padang ilalang. Dikatakan demikian dikarenakan dari rumput-rumput ilalang itu jalan setapak terbentuk. Proses terbentuknya, karena ilalang sering diinjak oleh beberapa anak yang sering pulang pergi sekolah, maka rumput tersebut pun terhambat proses tumbuhnya, lama-lama mati. Dan lamban laun karena sudah terlampau sering diinjak menjelmalah ia menjadi jalan setapak.

“Tahunan lamanya ayah merasakan siklus perjuangan ke sekolah yang seperti itu. Bisa dibayangkan, mulai dari Madrasah, Tsanawiyah, Aliyah (Pendidikan Guru Agama) dan seterusnya.” ayah bersemangat sekali bercerita.

Tapi yang namanya perjuangan itu, teman, seberapa pun pahitnya ia yang namun tidak akan pernah mengkhianati hasil. Hingga pada suatu waktu, tepatnya setelah beliau menamatkan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan melanjutkan study satu tingkatan lagi di sekolah Pendidikan Guru Anak Berkebutuhan Khusus di Jogja. Setelah selesai dari sana barulah apa yang tidak pernah diduga oleh kakek, terjadi. 

Entah waktu itu masih gak cukup guru atau memang lagi masa-masanya penjaringan guru, ayah tidak bisa memastikannya. Saat itu beliau belum kenal sama emak, tahu pun juga enggak apalagi sampai jumpa. Ingatannya sangat kuat hingga sekarang masih diingatnya. 
Kala itu, bangsa Indonesia belum begitu maju, terlebih lagi di pedesaan Aceh. Tepatnya saat di kampung kakek baru-baru siapnya musim panen hasil sawah ladang, di akhir bulan Agustus. Besoknya di minggu pertama memasuki bulan yang baru, menjelang siang, dengan transportasi masih mengandalkan mobil gosoan yang bentuknya memang seperti gosoan jadul, beliau disuruh menghadap ke kantor dinas.

Cara pakai gosoan jadul tersebut, mulanya dibuka bagian tutup atasnya terlebih dulu hingga miring seperti bak mobil truk pengangkut pasir yang mau menumpahkan isi, sebelum gosoan tersebut diisi arang untuk dipakai. Lalu kenapa perumpamaan alat transportasi jenis jadul itu disamakan dengan gosoan? Ya karena di kampung-kampung nama mobil gosoan sempat melekat pada jenis transportasi yang yang satu ini.

Karena menu makanan pinggir jalan tidak kalah enaknya dengan restoran di Kutaraja, jadinya proses kita makan pun sangat pelan, alibinya kami sangat menikmati santapan malamnya. Dan cerita perjuangan pun belum kunjung selesai, “Nah lewat perantara mobil gosoan itulah, di pagi  bulan September ayah disuruh menghadap ke kantor Dinas Kabupaten. Singkat kisah, selang beberapa hari setelah pemanggilan diangkatlah ayah sebagai peugawe (guru), tapi penempatannya jauh dari kampung halaman..” Perjuanagan ayah tak berhenti sampai ia diangkat menjadi pegawai. Terutama terkait dengan hal penaklukkan jarak tempuh yang masih terkendala trnasportasi, ayah masih harus banyak-banyak berdamai dengan keadaan yang demikian. Tapi semangatnya mengabdi tak surut, tidak menurun sepersenpun sama seperti saat ia sekolah dan harus menaklukkan jarak dengan jalan kaki yang jauhnya sejauh mata memandang.


Pada masa-masa awal berbakti, baju warna cokelat berlogo pancacita itu belum ada, karena ketentuan berseragam belum seperti sekarang dalam menjalani menjalani hari-hari dinas. Seringnya beliau mengenakan kemeja biasa berlengan panjang rapi hasil setrika pakek gosoan arang jadul itu. Sesekali kalau ada perkara penting beliau membalut tubuhnya dengan safari seperti miliknya bapak si Ikal ‘Sang Pemimpi’ yang dipakai saat mengambil rapor Ikal di sekolah Muhammadiyah, Manggar, di Provinsi Belitong sana.


***
Kesiapan hati dalam menghadapi cemoohan, ledekan dan nyi-nyiran orang-orang seangkatan yang tak berniat sekolah, menjadi tantangan tersendiri bagi siapa saja yang memutuskan untuk bersekolah pada saat itu. Mau tahu apa "menu" dari teman-teman seusianya dalam menjadikan ayah dan kawan-kawan sebagai bulan-bulanan. Ini menunya: Kata mereka buat apa sekolah? Guru kana goeb/ Guru sudah ada, Teungku Peutua kana goeb/Teungku Peutua (selevel pengurus surau), Bupati kana goeb/ Bupati sudah ada, dan Gubernur pih kana goeb, Gubernur pun kita sudah punya, jadi kupue loem jak sikula, jadi buat apalagi kita sekolah. Hari ini gerombolan orang yang kerap kali meledek anak-anak sekolah itu, syukur Alhamdulillah mereka masih hidup, dan sampai tak jadi siapa-siapa. Hanya statusnya saja yang sudah berubah karena sudah kawin, memiliki anak isteri yang diakui negara.

Kerja mereka dulu, saat waktu masih pagi-pagi sekali, mereka biasa terbengong di tepi sungai, duduk mengurung diri dengan kain sarung yang sudah kaku, melihat air sungai yang mengalir, bersama lamunan mereka yang juga ikut mengalir perlahan menuju muara. Terbengong-terbengong melihat akik-akik di kampung yang memberi minum kerbau dan sapi (dalam bahasa Aceh, perbuatan ini disebut "jak ba ie kubue-leumo"). Mereka para petantang-petenteng itu baru beranjak dari tepi sungai saat matahari sudah sepenggelahan naik, itu pun pulang ke rumah masing-masing buat melanjutkan tidur yang terputus akibat kena siram pas bangun subuh.

Sekiranya dulu ayah dan kawan-kawan berani menjawab ocehan mereka, mungkin beliau akan melayaninya seperti ini; Hai Tuengku apa, Guru, Tuengku Peutua, Bupati dan Gubernur nyan, saboeh saat akan mate geuwoe bak Tuhan, dan tanyoe-tanyoe nyoe keuh na jak sikula yang jeut keu peugantoe posisi awaknyan. Jika diterjemahkan: Duhai mas bro, Guru, Teungku Peutua, Bupati, dan Gubernur itu suatu saat mereka akan mati pergi menghadap Tuhan pemilik langit, dan kita-kita yang pernah sekolah inilah yang menggantikan posisi mereka.

***
Dulunya beliau juga seorang perantau semasa masih melanjutkan sekolah ke tanah Jogja. Semasa di perantauan, ayah juga punya sharing cerita yang panjang, tapi kupenggal sampai disini saja. Semisal dalam urusan menunggu kiriman, beliau sampai harus menunggu berminggu-minggu lamanya sebelum kiriman uang dan logistik sampai dari kampung (keluarga) petani. Saat itu rekening Bank belum begitu masyhur apalagi kotak ATM, kotak ajaib yang ketika tubuhnya digesek secara magis ia akan memuntahkan lembaran-lembaran uang. Mana ada yang begituan saat zaman masih mengandalkan jasa pak pos, bukan seperti pak pos kilat sekarang. Untuk menunggu kiriman, misalkan awal Januari ayah mengabari keluhannya ke kampung halaman soal logistik dan amunisinya yang mau habis, baru di penghujung Januari kiriman uang seadanya dan beras hasil sawah garapan kakek-nenekku sampai ke Jogjha, tepatnya ke Kulon Progo. Karena beratnya perjuangan seorang ayah, makanya setiap hari kuperingati itu dalam tulisan ini apa yang sering digaung-gaungkan oleh manusia modern sekarang: Selamat Hari Ayah.

Photo Perwakilan Kulon Progo Zaman Dulu Yang Sudah Hilang Photonya


**********************Selesai



Kenangan ibadah haji almarhum semasa hidupnya, semoga mendapat haji yang mabrur, Amiin.




Share:

Recent Posts

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Pages