Ada beberapa orang dalam hidup aku,
yang dengan mereka aku masih punya hutang budi yang belum terlunasi sampai
malam ini. Salah satunya kakek ku. Dan hari ini aku tidak mungkin lagi bisa
membalas semua budi baik kakek yang telah kakek timbun-timbun atas diri aku
semasa aku masih ingusan dan punya hobi menangis. Karena kenapa?
'Allahummagfirlahu warhamhu waa'fihi wa'kfuanhu' karena kakek saya telah
meninggal saat aku masih berusia dua puluh tahunan. (Memori)
Kakek pergi tidak dengan tiba-tiba,
tapi penuh dengan pertanda; lewat sakit-sakitan yang sering membuatnya
meradang, sesak nafas dan juga suhu tubuh yang tidak biasa. Juga si kakek pergi
bukan karena sebuah kekonyolan, bukan dari akibat kecelakaan balap liar, juga
bukan dari akibat menjadi pahlawan kesiangan, pahlawan kepagian dan pahlawan
kemaleman yang tanpa perhitungan. But my grandfather gone because time is up!
Kakek pergi karena sudah waktunya kakek wajib pergi. Aku betul-betul merasa kehilangan.
Sekarang, setiap usai makan aku tidak
lagi melihat akan kepulan asap rokok daun (rukok oen;rokok khas dikalangan
orang tua di Aceh) yang dihembus sang kakek. Semasa hidup, kakek punya jejak
rekam (track record) yang membuat aku sedih dan murung setiap kali aku
mengingatnya. Disaat orang-orang lain sedang bahagia menikmati masa tua mereka
dengan riang yang dikelilingi cucu-cucu mereka masing-masing, kakek ku malah
mendapat ujian berat, sebagai buah dari konflik aceh yang berkecamuk. I write
this with my tears, tears as my ink for these words..
Bayangkan saja, diusia diatas 50 tahun
kakek ku dihadiahi peluru oleh orang-orang yang berperang saat itu. Peluru yang
dihadiahi pun peluru tajam bakan peluru karet. Tepat dibahu kanannya peluru
mengebor habis sampai tembus kesamping ketiak kakek. Dan hebatnya sang kakek,
menurut cerita orang yang mendampingi beliau disawah, saat setelah kena
tembakan kakek masih bisa berbicara, beliau terkena beliau tidak langsung
terkulai pingsan, masih sempat berkata "Lon ka keunoeng/ saya kena
tembak" ke temannya yang tetangga sawah dengan kakek.
Baru setelah itu bercak darah mengairi
sawah, air sawah bercampur menjadi merah menyala berarak mengelilingi kakek
yang sudah terkulai. Tembakan itu tidak punya alasan yang jelas, bisa jadi
salah sasaran atau sebagainya.
Dengan tanpa alasan yang jelas. Pagi
itu sang kakek sedang menikmati kerja sawah. Seperti biasanya disela sela
istirahat kakek sering memilih tanggul sawah sebagai tempat peristirahatan dari
kegiatan sawah. Hampir tiap kali menikmati waktu istirahat kakek tidak pernah
sekalipun melewati duduk ditanggul, sambil menikmati bekal makanan 'recharge
energi ' bikinan nenek, lalu ditambahkan membuat kepulan kepulan asap karya
cipta kakek sendiri dari rokok daun kesayangannya, ini yang aku ingat tentang
kebiasaan kakek.
Pagi itu memang naas bagi kakek, pagi
itu kakek tertembak. Menurut kabar pagi itu sedang direncanakan sebuah
pengepungan di zona merah (sebutan dimasa itu). Aku sudah sudah lupa harinya
yang pasti bertepatan dengan tanggal merah nasional. Tapi bukan tembakan yang
membuat kakek meninggal, kakek meninggal layaknya orang kebanyakan, menemuai
ajal karena sudah waktunya. Beliau sempat menikmati masa masa tua dengan nenek
selaku tulang rusuknya, hingga salah satu dari mereka pergi dengan tenang.
Hiks, diatas tikar biasa sang kakek pergi kehadhirat pemilik-Nya.
Sayang sekali, saat itu aku belum bisa
memaknai apa itu balas budi. Oh Tuhan, aku baru bisa memaknainya malam ini,
tepat di malam jumat, saat kebiasaan yasinan bergema di kampung-kampung.
Selamat jalan kakek...
Dari cucumu yang kini sudah ingat apa
itu balas budi.