Mengingat betapa sulit persaingan global di dunia professional dan tuntutan kerja saat ini. Semoga saya tidak berlebihan mengatakan: jika saja tujuan dari pendidikan adalah mencari pekerjaan, dengan melihat kenyataan dan garis ketetapan zaman akhir-akhir ini yang semakin menjamurnya pengangguran dari tahun ke tahun, maka jelas akan banyak orang terdidik yang akan mengalami tekanan dan gangguan jiwa karena tidak memiliki pekerjaan setelah tamat sekolah-dan mereka harus dipaksa belajar menikmati hidup di rumah sakit jiwa. Ini belum lagi dengan tuntutan kawin yang bisa memperparah keadaan.
Tetapi fakta lain: apakah kita tahu sudah berapa jumlah orang terdidik dan tidak terdidik (jalan pintas-beli ijazah) yang sudah mengantongi ijazah sampai hari ini. Mulai dari lulusan perguruan tinggi negeri hingga swasta? Aku juga tidak tahu. Lagian mana ada orang gila (kurang kerjaan) yang mau menghitungnya. Dan umumnya dari mereka yang berstatus pengangguran dan hari ini punya legalitas yang dalam dunia pendidikan dikenal dengan sebutan ijazah.
Satu tahun setelah divonis menjadi alumni dari salah satu "sekolah" yang biasa-biasa saja yang ada di tanah ini (dibaca dengan nada remeh dan loyo), aku bingung: berpikir kemana lagi aku harus melangkah? Seperti: koran-koran dan situs-situs penyedia lowongan kerja sudah lama menjadi sajian dan santapan yang tidak mungkin kulewatkan untuk tidak kubaca. Tetapi semua persyaratan diterima kerja yang tertera di halaman lowongan pekerjaan, sedikit sekali yang melekat padaku selain dari tinggi dan berat badan ideal serta memiliki berijazah. Sementara persyaratan lain nol besar, tak ada yang menempel padaku. Ditambah lagi dengan usiaku yang sudah seumuran "pohon beringin". Nasib, nasib.. ini yang membuatku sangat sulit diterima dimana-mana, termasuk di hati "dia".
Keadaanku masih begitu-begitu saja, sebagai Pengacara (Pengangguran Tiap Acara). Hampir setiap malam, sebelum tidur aku mengambil sesuatu yang sudah lama kuselipkan dibalik kasur butut yang kapasnya berserak tapi tetap wangi (seharusnya). Sebuah map yang berisikan kertas berharga yang telah kuperjuangkan hingga empat tahun setengah lamanya. Kuambilkan isi map itu, lalu ku perhatikan "ia" lekat-lekat serta penuh penghayatan pada masa perjuangan dalam meraihnya. Di bawah sorotan boh lam yang sedikit meredup aku meratapi nasib pada selembar ijazah dan transkrip nilai yang tertoreh nilai biasa-biasa saja: nilai yang cuma cukup untuk melamar menjadi seorang hansip di kampung calon mertua. Aku merasa depresi tingkat dewa dan itu kurasakan selama berhari-hari.
"Get the hell are here, you sit on my chair!!" |