Beginilah kalau jadi anak yang keras
kepala. Padahal dulu pas tamat SMA emak sudah menyiapkan modal buat usaha saya.
Setelah saya dinyatakan lulus SMA, saya sering diajak bicara empat mata tentang
apa langkah saya selanjutnya kemana, dan mau jadi apa. Melihat saya yang sering
malas malasan urusan sekolah sekolah, akhirnya emak mengambil keputusan untuk
tidak terlalu memberi fokus ke saya untuk kuliah. Mak ngelarang sangat untuk
saya tidak kuliah, karena emak lebih yakin melihat saya cocoknya jadi usahawan
(di usaha dagang).
"Nak mukamu itu bukan muka anak
kuliahan, kamu lebih cocok jadi orang dagang nak, emak udah siapin modal buat
kamu."
Udah sering kali emak menasehatiku,
bertukar pikiran sebelum ambil keputusan untuk beli formulir pendaftaran jadi
mahasiswa baru. Eee, malah akunya yang ngotot pengen kuliah, pengen ikut-ikutan
jadi the sarjana.
Jadi inget kata-kata seorang teman
yang sekarang dia sudah selesai kuliah, "kalau dulu aku tahu nasibku
bakalan begini siap kuliah war (gak ada kerja), mending aku siapin modal dari dulu
buat usaha kecilan kecilan, ya walaupun itu jual pulsa dan jual permen." Kemarin
pas pulang kampung jumpa kawan kawan satu SMA yang tidak kuliah, sekarang dia
sudah punya toko sendiri, mulanya dia hanaya jadi pekerja di toko orang, dan
pas pulang puasa kemarin aku jumpa dia udah jadi toke. Punya toko baju lebih
dari empat pintu. Aku dan dia masih sama sama muda. Tapi karena aku salah memilih
jalan jadinya aku tampak lebih tua dengan derita dan penyesalan. Temanku yang
sudah jadi toke itu, dia dulu konsisten dalam menancapkan kakinya untuk menjadi
seorang pedagang dan focus membangun usaha.
Tetapi kawan, ini yang mau kusampaikan
pada kalian, walapun bagaimanapun, dan apapun yang sedang kurasa sekarang, yang
namun keputusan yang telah kuambil tak akan kusesali. Karena kata orang tua-tua
dulu dalam bahasa Aceh: Nyan bandum kaleuh geu gareh lee po teuh peuneujeut
alam, keu tiep-tiep insan. Life must go on!
***
Dan hari ini, setelah sekian lama berpisah
dengan kenangan keberhasilan temanku yang sudah berhasil menjadi toke itu, aku
coba tidak lagi membanding-bandingkan diriku dengan keberhasilan orang lain. Aku
terus melihat ke depan melakukan apa yang kurasa menjadi kegemaranku dan
pastinya tetap tidak melupakan lowongan pekerjaan. Hehe, saat menemukan lowongan
kerja yang begitu berjibun di berbagai situs internet, aku serasa sedang berada
di mall besar di Ibu Kota. Niat untuk membelikan semua keperluan sehari-hari
yang dijejer di rak-rak barang begitu tinggi, tetapi setelah aku memasukkan
kelima jari kedalam saku celana untuk mengambil dompet lalu melirik isinya
lembar-perlembar, peser-perpeser, dan koin-perkoin, setelahnya aku baru sadar;
duit enggak cukup untuk membeli itu semua. Niat berbelanja yang besar tadi,
yang begitu bernafsu, perlahan "grafiknya" menurun.
Persis seperti saat membuka situs
lowongan kerja di internet, pengen kerja disana sini, di perusahan ini,
kementrian itu. Yang pertama kali terbayang adalah kalau aku keterima kerja
disini, aku patut berbangga seperti ini, dapat uang yang banyak, hidup mapan di
usia muda atau apalah.
Lupa kalau di dunia cari kerja
ternyata ada ketentuan bahwa: Di dunia professional sekarang ini jarang ada
instansi atau perusahaan yang rela membayar seseorang dengan bayaran gaji yang
selangit, tetapi syarat yang mereka ajukan untuk lulus ke situ biasa-biasa
saja. Cara pandangku selama ini kan ketika seseorang gagal menembus dunia kerja
hanya bisa menyalahkan, mengatakan ini tidak sesuai dengan standar proseur
mencari kerja di Indonesia atau pihak instansi yang terlalu mempersulitnya. Sebetulnya saat seseorang berkali-kali gagal
menembus dunia kerja yang harus dilakukannya adalah bercermin, belajar dari
pengalaman dan mempersiapkan apa yang menjadi standar kebutuhan dunia global
sekarang, tidak sexy dong menyalahkan pihak lain terus. Sekali lagi yang perlu
dilakukan adalah bercermin pada standar persaingan global; Apakah keberadaan
kita sudah menjawab kebutuhan dunia kerja dengan berdasarkan syarat-syarat yang
diajukan.
Tetapi setelah tahu, betapa sulitnya
untuk bisa menembus kesana, akhirnya hayalan-hayalan tadi menciut seperti balon
yang kehabisan angin. Gimana gak sulit coba, semua orang-orang yang mengajukan
diri untuk bekerja disana, siapapun dia harus bisa menguasai bahasa asing
secara aktif dan pasif, gilak. Ditambah lagi dengan perolehan nilai toefl yang
berstandar internasional dan itu scorenya harus diatas 480, Bbbahhh...!
Setelah mengetahui betapa beratnya
qualify atau syarat untuk masuk kesana, akhirnya "aku" memilih jadi pekerja
serabutan aja deh. Kubenamkan semua hayalan-hayalan tadi di tengah-tengah
samudara, sedikit pun aku tidak berniat untuk menyelam ke dasar samudara guna
mengambilnya kembali.
Belum ada pekerjaan yang pas buat aku,
walau itu statusnya masih baru.
Kalau boleh jujur sih, sebetulnya aku
sudah mulai bosan dengan pekerjaan antar jemput antar jemput ini setiap
harinya, walaupun sepulang dari situ kunci mobil mewah ini aku yang kantongi
boleh kubawa kemana-mana sampai pekerjaan jemput antar jemput antar itu tiba
kembali waktunya. Aku dibayar untuk profesi ini, uang makan aku dikasih tempat
tinggal aku disediakan. Aku tinggal di sebuah rumah yang ada bangunan ruko
disampingnya, nah di lantai dua ruko itulah aku tinggal selama di ID Card ku ini
masih tertulis pengantar jemput sebagai profesiku.
Sebelum aku menemukan profesi-profesi
lain terpakasa aku harus bergelut dengan balutan rasa bosan ini setiap pagi,
setiap siang, setiap sore atau bahkan kadang setiap malam. Aku tidak punya
banyak pilihan pekerjaan seperti kalian yang bebas memilih untuk menjadi apa
saja. Kemana-mana aku tertolak dengan alasan umur yang sudah melampaui batas
standar. Satu-satunya pekerjaan yang tidak menetapkan batas standar usia adalah
ya pekerjaan ini, pekerjaan yang membosankan yang sedang kujalani. Kalau
seandainya dari jauh kalian bisa membaca keterangan pekerjaan di ID Card ini,
kalian akan tahu kalau profesiku adalah pengantar jemput keluarga pembesar di
kota ini.