|
H. M. Nasir bin Abdul Wahab (Almarhum, Jumat, 25 September 2020) |
Jauh
beberapa tahun setelah kuburan kakek dan nenekku kering, di waktu yang lain aku
mencoba membujuk ayah supaya diceritakan kisah perjuangannya dalam menundukkan
tantangan untuk tidak sekolah akibat ejekan, cemoohan dan ledekan orang-orang
yang belum begitu mengenal peradaban pada saat itu. Setelah satu jam lebih aku duduk bersama ayah aku berhasil mengantongi beberapa catatan yang menjadi bagian dari kisah
perjuangannya seperti yang sedang kutulis sekarang ini.
Aku mengulangi kembali pertanyaan
yang pernah kutanyakan pada kakek semasa hidup beliau, menyangkut
rasa penasaranku: Bagaimana ceritanya orang dulu itu cepat sekali diangkat jadi
pegawai negeri? Orang dulu yang kumaksud termasuk ayahku. Pertanyaan yang singkat
tersebut ternyata menghasilkan jawaban yang panjang dari ayah, hingga aku berpikir memilih menulisnya lebih bagus. Hmm, mungkin karena aku membuka obrolan dengan menggunakan
perbendaharaan kata “ Bagaimana Ceritanya?” jadinya ayah bercerita sekarang.
Semasa ayahku dulu belum ada yang namanya
seleksi penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS). Ketentuan
hukum alam yang berlaku pada zaman dahulu kala itu adalah, bagi siapa saja yang
rajin sekolah, nanti setelah mereka
tamat mereka langsung akan
diangkat menjadi pegawai negeri, dulu sebutannya peugawe (dalam
bahasa Aceh). Ayahku beruntung dikarenakan jumlah guru masih sangat sedikit. Dan pada saat itu
juga minat orang yang mau sekolah
juga sangat kecil. Menurut pandangan beliau, kalau
dilihat-lihat ketekunan anak-anak sekarang, termasuk kita-kita ini yang
kuliah. Sekiranya anak muda
kayak kita hidup di masanya dulu, mungkin kita sudah diangkat jadi PNS atau bahkan lebih
dari itu, jadi
kepala dinas pendidikan lebih kurangnya.
Sekolah di era ayahku atau ayah kalian juga banyak sekali tantangannya. “Coba
kamu bayangkan saja,” kata ayahku di suatu malam saat kami sedang menikmati dua piring nasi goreng masak kampung di pinggir jalan kota, “ tiap pergi ke sekolah ayah harus berjalan kaki yang jaraknya berkilo-kilo meter. Saat itu
angkutan jenis labi-labi belum ditemukan,” Sejenak ayah berhenti bercerita,
setelah menelan kemudian beliau memanggil salah seorang pelayan warung makan
untuk memesan minuman: Jus Alpukat.
|
Sedang menikmati makan malam di pinggiran jalan kota |
Lalu
setelahnya ia melanjutkan cerita, “Dan jalan yang harus ayah lewati (ayah berpikir) itu pun tak layak disebut jalan, besarnya hanya dua kali
diameter ban vespa temanmu yang anak motor itu.” Aku tergelak mendengar kata
vespa karena yang terlintas adalah seekor hewan dalam bahasa Aceh "baneng" (alias
kura-kura). Sembari berpikir diantara suara bising kenderaan yang berlalu
lalang di jalana kota, “Kok perumpamaannya ban Vespa sih yah, kenapa gak yang
lain.”
Orang-orang
yang pergi sekolah pada zaman dulu belum bisa menikmati jalan aspal bikinan pemerintah
seperti sekarang ini, yang ada hanya jalan yang membelah antara padang ilalang. Dikatakan
demikian dikarenakan dari rumput-rumput ilalang itu jalan setapak terbentuk. Proses terbentuknya,
karena ilalang sering diinjak oleh beberapa anak yang sering pulang pergi
sekolah, maka rumput tersebut pun terhambat proses tumbuhnya, lama-lama mati. Dan
lamban laun karena sudah terlampau sering diinjak menjelmalah ia menjadi jalan
setapak.
“Tahunan
lamanya ayah merasakan siklus perjuangan ke sekolah yang seperti itu. Bisa dibayangkan,
mulai dari Madrasah, Tsanawiyah, Aliyah (Pendidikan Guru Agama) dan seterusnya.” ayah bersemangat sekali bercerita.
Tapi
yang namanya perjuangan itu, teman, seberapa pun pahitnya ia yang namun tidak akan
pernah mengkhianati hasil. Hingga pada suatu waktu, tepatnya setelah beliau
menamatkan sekolah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan melanjutkan study satu
tingkatan lagi di sekolah Pendidikan Guru Anak Berkebutuhan Khusus di Jogja. Setelah
selesai dari sana barulah apa yang tidak pernah diduga oleh kakek, terjadi.
Entah waktu itu masih gak cukup guru atau memang lagi masa-masanya penjaringan
guru, ayah tidak bisa memastikannya. Saat itu beliau belum kenal sama emak,
tahu pun juga enggak apalagi sampai jumpa. Ingatannya sangat kuat hingga
sekarang masih diingatnya. Kala
itu, bangsa Indonesia belum begitu maju, terlebih lagi di pedesaan Aceh. Tepatnya
saat di kampung kakek baru-baru siapnya musim panen hasil sawah ladang, di
akhir bulan Agustus. Besoknya di minggu pertama memasuki bulan yang baru, menjelang
siang, dengan transportasi masih mengandalkan mobil gosoan yang bentuknya
memang seperti gosoan jadul, beliau disuruh menghadap ke kantor dinas.
Cara pakai gosoan jadul tersebut, mulanya dibuka bagian tutup atasnya
terlebih dulu hingga miring seperti bak mobil truk pengangkut pasir yang mau
menumpahkan isi, sebelum gosoan tersebut diisi arang untuk dipakai. Lalu kenapa
perumpamaan alat transportasi jenis jadul itu disamakan dengan gosoan? Ya karena
di kampung-kampung nama mobil gosoan sempat melekat pada jenis transportasi
yang yang satu ini.
Karena menu makanan pinggir jalan tidak kalah enaknya dengan restoran di
Kutaraja, jadinya proses kita makan pun sangat pelan, alibinya kami sangat
menikmati santapan malamnya. Dan cerita perjuangan pun belum kunjung selesai, “Nah lewat
perantara mobil gosoan itulah, di pagi bulan September ayah disuruh
menghadap ke kantor Dinas Kabupaten. Singkat kisah, selang beberapa hari setelah
pemanggilan diangkatlah ayah sebagai peugawe (guru), tapi penempatannya jauh
dari kampung halaman..” Perjuanagan ayah tak berhenti sampai ia diangkat
menjadi pegawai. Terutama terkait dengan hal penaklukkan jarak tempuh yang masih terkendala trnasportasi, ayah masih harus banyak-banyak berdamai dengan keadaan yang demikian. Tapi semangatnya mengabdi tak surut, tidak menurun
sepersenpun sama seperti saat ia sekolah dan harus menaklukkan jarak dengan jalan
kaki yang jauhnya sejauh mata memandang.
Pada
masa-masa awal berbakti, baju warna cokelat berlogo pancacita itu belum ada,
karena ketentuan berseragam belum seperti sekarang dalam menjalani menjalani
hari-hari dinas. Seringnya beliau mengenakan kemeja biasa berlengan panjang rapi
hasil setrika pakek gosoan arang jadul itu. Sesekali kalau ada perkara penting
beliau membalut tubuhnya dengan safari seperti miliknya bapak si Ikal ‘Sang
Pemimpi’ yang dipakai saat mengambil rapor Ikal di sekolah Muhammadiyah, Manggar,
di Provinsi Belitong sana.
Kesiapan hati dalam menghadapi cemoohan, ledekan dan nyi-nyiran orang-orang seangkatan yang tak berniat sekolah, menjadi tantangan tersendiri bagi siapa saja yang memutuskan untuk bersekolah pada saat itu. Mau tahu apa "menu" dari teman-teman seusianya dalam menjadikan ayah dan kawan-kawan sebagai bulan-bulanan. Ini menunya: Kata mereka buat apa sekolah? Guru kana goeb/ Guru sudah ada, Teungku Peutua
kana goeb/Teungku Peutua (selevel pengurus surau), Bupati kana goeb/ Bupati
sudah ada, dan Gubernur pih kana goeb, Gubernur pun kita sudah punya, jadi
kupue loem jak sikula, jadi buat apalagi kita sekolah. Hari ini gerombolan orang
yang kerap kali meledek anak-anak sekolah itu, syukur Alhamdulillah mereka masih hidup, dan sampai tak jadi siapa-siapa. Hanya statusnya saja yang sudah berubah karena sudah
kawin, memiliki anak isteri yang diakui negara.
Kerja mereka dulu, saat waktu masih pagi-pagi sekali, mereka biasa terbengong di
tepi sungai, duduk mengurung diri dengan kain sarung yang sudah kaku, melihat
air sungai yang mengalir, bersama lamunan mereka yang juga ikut mengalir
perlahan menuju muara. Terbengong-terbengong melihat akik-akik di kampung yang
memberi minum kerbau dan sapi (dalam bahasa Aceh, perbuatan ini disebut
"jak ba ie kubue-leumo"). Mereka para petantang-petenteng itu baru beranjak dari tepi sungai saat matahari sudah sepenggelahan naik, itu pun pulang ke
rumah masing-masing buat melanjutkan tidur yang terputus akibat kena siram pas bangun subuh.
Sekiranya
dulu ayah dan kawan-kawan berani menjawab ocehan mereka, mungkin beliau akan melayaninya seperti
ini; Hai Tuengku apa, Guru, Tuengku Peutua, Bupati dan Gubernur nyan, saboeh
saat akan mate geuwoe bak Tuhan, dan tanyoe-tanyoe nyoe keuh na jak sikula yang
jeut keu peugantoe posisi awaknyan. Jika diterjemahkan: Duhai mas bro, Guru,
Teungku Peutua, Bupati, dan Gubernur itu suatu saat mereka akan mati pergi
menghadap Tuhan pemilik langit, dan kita-kita yang pernah sekolah inilah yang
menggantikan posisi mereka.
Dulunya
beliau juga seorang perantau semasa masih melanjutkan sekolah ke tanah Jogja.
Semasa di perantauan, ayah juga punya sharing cerita yang panjang, tapi
kupenggal sampai disini saja. Semisal dalam urusan menunggu kiriman, beliau sampai
harus menunggu berminggu-minggu lamanya sebelum kiriman uang dan logistik sampai
dari kampung (keluarga) petani. Saat itu rekening Bank belum begitu
masyhur apalagi kotak ATM, kotak ajaib yang ketika tubuhnya digesek secara
magis ia akan memuntahkan lembaran-lembaran uang. Mana ada yang begituan saat zaman masih mengandalkan jasa pak pos, bukan seperti pak pos kilat sekarang. Untuk
menunggu kiriman, misalkan awal Januari ayah mengabari keluhannya ke kampung
halaman soal logistik dan amunisinya yang mau habis, baru di penghujung Januari
kiriman uang seadanya dan beras hasil sawah garapan kakek-nenekku sampai ke
Jogjha, tepatnya ke Kulon Progo. Karena beratnya perjuangan seorang ayah, makanya setiap
hari kuperingati itu dalam tulisan ini apa yang sering digaung-gaungkan oleh manusia modern sekarang: Selamat Hari Ayah.
|
Photo Perwakilan Kulon Progo Zaman Dulu Yang Sudah Hilang Photonya |
**********************Selesai
Kenangan ibadah haji almarhum semasa hidupnya, semoga mendapat haji yang mabrur, Amiin.