Menulis Karena Gelisah Terhadap Sesuatu..

Jauh Sebelum Hari Ini

 Saat-saat menjelang tidur merupakan salahsatu titik dimana anak-anak usia remaja kerap kali berpikir tentang masa depan mereka. Aku termasuk salah satu dari sekian banyak anak usia remaja Indonesia yang masih hidup sampai hari ini, walaupun sebentar lagi akan lapuk. Kekhawatiranku soal masa depan sudah terpikirkan sejak lama, bahkan jauh-jauh hari sebelum aku tamat kuliah dan memilih untuk menulisnya di sini.

“Sepuluh atau lima tahun kedepan, barangkali itu terlalu lama? Jangankan di rentang bilangan angka tersebut, dua atau tiga tuhun kedepan saja aku belum tentu yakin dan tahu pasti: Nanti Aku Akan Jadi Apa?” batinku di penghujung malam. Ngomong-ngomong, kalian sudah tahu belum dua atau tiga tahun kedepan, kalian mau jadi apa?  

Terkadang saat aku hendak tidur dan ketika mata ini belum mau dipejamkan, pertanyaan-pertanyaan semacam itu kerap kali menghampiri hingga membuat mata dan hati juga sulit terpejam. Memang benar kata orang, gelisah itu sering bikin orang gak tidur-tidur. Tapi enggak lah, masak iya? buktinya alunan Kitaro mampu membuatku tenggelam malam ini, aku terlelap.

Setelah kupikir-pikir, mungkin penyebab seringnya aku terseret dalam memikirkan masa depan yang terlalu jauh dikarenakan aku terlalu sering menonton film dan membaca buku cerita bertema mimpi dan masa depan. Seharusnya tak usah dulu ku ngomong soal masa depan yang terlalu jauh. Sekiranya saja aku sanggup menanggung sendiri biaya kos-kosan, makan sehari tiga kali dengan lauk telor dadar masakan padang dan bilangan rupiah ongkos pangkas rambut tak lagi kuminta si tukang pangkas untuk mencatatnya di buku catatan hutang. Sungguh sekiranya saja aku mampu berada pada keadaan yang demikian, aku sudah harus banyak-banyak bersyukur pada Tuhan pemilik langit. Tapi dengan catatan semua biaya kebutuhan sehari-hari bukan lagi uang kiriman dari kampung halaman: Menandakan bahwa aku sudah mandiri.

***
Hari ini usiaku sudah betambah satu tahun lagi dan pertanyaan-pertanyaan tentang masa depan masih saja berlalu lalang dalam tempurung kepalaku. Di suatu pagi menjelang siang, sekali waktu aku pernah iseng bertanya pada kakek akibat dibujuk jin baik bernama Qarin yang bersembunyi dalam diriku. 

Di sela-sela waktu kakek sedang beristirahat dari lelahnya sehabis pulang mencangkul tanah sawah, "Kek, sebetulnya kakek menginginkan aku jadi apa?"

Nenekku yang cantik hatinya baru saja menghidangkan segelas kopi pancung ke hadapan kakek, kulihat kopi itu masih berasap-asap dan harumnya tercium. Dan rokok daun (Aceh-rukok oen) yang terikat seperti ikatan sapu lidi tidak pernah jauh-jauh dari kakek. Kakek menaruh ikatan rokok tersebut disamping gelas kopi yang barusaja dihidangkan nenek, lengkap dengan korek yang diletakkan bertindihan.

Di kampung kakek, korek yang sekarang terkenal dengan sebutan (mancis) berwarna-warni itu belum begitu akrab di kalangan orang tua. Kakek masih menggunakan korek biji berwarna kuning biru, bergambar perahu dan ada tulisan 'Dollar' di belakangnya, "Terserah sama kamu mau jadi apa saja, asalkan pekerjaanmu itu tidak menjebloskanmu ke dalam jeruji penjara.!"

Kakek melepaskan topi cowboy yang dipakainya, kemudian ia mengipas-ngipasi tubuh yang masih berkeringat. Aku mulai merapatkan diri ke hadapan kakek hingga bau khas keringat menyengat orang yang baru pulang dari sawah itu tercium jelas, masuk ke dalam lobang hidung, "Dulu bapak, ayahku yang sekarang pernah gak menanyakan hal ini pada kakek. Apakah dulu kakek pernah punya keinginan supaya ayah jadi pegawai? hingga kakek menyekolahkannya sampai ayah jadi pegawai seperti sekarang?”

Kakek yang sedang melinting tembakau (Aceh-bakoeng) untuk disulapnya menjadi sebatang gulungan rokok orang tua, memperlihatkan rawut wajah dan mengernyit kebingungan, “Maksudmu bagaimana?” Sejenak aku berpikir bagaimana cara meringkas pertanyaan ini menjadi mudah dimengerti dan langsung ke intinya, “Hmm begini, mungkin dulu ketika ayah bertanya pada kakek: Bagusnya ia jadi apa? Pernah tidak—kakek langsung memperlihatkan keinginan yang besar agar ia menjadi seorang pegawai? begitu maksud cucumu ini, Kek,” ucapku sambil mencoba-coba melinting tembakau tapi enggak bisa-bisa, aku baru sadar ternyata skill melinting itu hanya dimiliki kakek.

Kakek menoleh, “Oh tidak, kakek hanya menyekolahkan ayahmu saja semampu kakek dan dengan bekal yang ada, kakek juga tidak pernah menduga kalau ujung-ujungnya ia akan menjadi pegawai seperti sekarang.”

Aku yang sudah mulai larut dalam obrolan hanya bisa termangut-mangut mendengar paparan kakek, “Jadi bagaimana juga itu ceritanya sampai ayah jadi seorang pegawai, Kek?”

Lintingan rokok daun yang berisi tembakau kelas bawah itu sudah jadi, sekarang tinggal lagi dibakar untuk menikmati sensasi nikmatnya, “Ayahmu jadi seperti sekarang hanya faktor keberuntungan saja. Jadi dulu itu kebutuhan guru besar tapi yang mau sekolah sangat sedikit, karena ayahmu mau sekolah makanya ia jadi kayak sekarang. Mungkin, ya itu hanya untuk mengisi kekosongan saja”

Kakek terkekeh bersamaan dengan keluarnya kepulan asap rokok lewat mulut dan lobang hidungnya, “ Mungkin kalau kakek mau sekolah seperti ayahmu, kakek juga sudah jadi pegawai (Aceh-peugawe), Hehe.." Kakek kembali terkekeh dalam candaannya.    

Selepas menghidangkan segelas kopi pancung, nenek kembali melanjutkan aktivitasnya memasak di luar rumah untuk menyiapakan menu masakan siang bersama cucunya. Rumah kakek dan nenek kecil, tidak ada ruang khusus untuk memasak di dalamnya seperti rumah-rumah zaman sekarang, sementara lapak dapur berada di luar rumah. Aku dan kakek tahu kalau nenek sedang memasak di luar karena asap yang membumbung dan kobaran api menyala yang sedang memakan kayu bakar itu tampak dari celah-celah dinding rumah kayu. Aroma menu masakan siang yang sedang di perapian dan harum daun melinjo muda yang sengaja digoreng dengan minyak kelapa menusuk hidung, tercium hingga ke dalam rumah.

Aku tahu, kalau 'Kerupuk Melinjo' yang sering disebut “Keurupuk Mulieng” itu kalian sering melahapnya, dan aku juga tahu, sedikit sekali diantara kalian yang pernah melahap daun melinjo muda yang digoreng khusus pakek minyak kelapa hasil perasan kaum nenek-nenek di kampung. 

Waktu makan siang hampir tiba dan kakek belum juga bisa lepas dari cerutu kelas terinya. Gulungan asap tak henti-henti mengepul di depan wajah sang kakek hingga menutupi sebagian wajahnya yang mulai sedikit keriput, "Nenek memasak khusus buatmu siang ini. Tadi pagi, sebelum kakek pergi ke sawah, ia meminta kekek untuk berbelanja ke pasar, karena ia tahu siang ini cucunya datang untuk menyantap makan siang bersamanya..”

Mendengar kata-kata "Memasak Khusus", aku melompat dari tempatku duduk mengobrol. Penasaran bukan buatan: Sespesial apa sih isi panci siang ini? Aku berjalan ke belakang mencari sumber aroma masakan, tapi tak sampai keluar menuju hingga dapur, hanya mengintipnya saja lewat celah-celah dinding rumah yang tembus ke luar. Dan tampaklah nenek di sana yang sebentar-sebentar mengecek masakan spesialnya dengan membuka tutup panci berulang kali: Apa isi panci sudah bisa diangkat atau belum?

Nah diantara aktivitas buka tutup-buka tutup panci itulah terlihat apa yang sedang dimasaknya. Salah satu jenis masakan khas orang-orang di kampung, tapi aku suka: Kuah Pliek U yang berasap-asap dan diikuti gelembung-gelembung kecil.

Sementara masakan sebelumnya yang sudah jadi: Ada potongan ikan asin, teri sambal kacang, daun melinjo muda yang baru selesai digoreng. Semuanya sudah dipisah-pisah dalam piring kecil (Aceh-cupe).

Ditambahlagi jagung rebus hasil kebun kakek yang sudah dipotongan-potong dan kini ditaruhnya di dalam mangkuk plastik berwarna ungu.  Maknyuuuss.!!

Eh, ada yang ngiler rupanya, iya aku.

****
Aku rindu kedua orang ini. Dan sekarang saat aku menulis tentang keduanya, aku baru sadar ternyata aku hanya baru menulis beberapa keping kenangan manis saja bersama mereka yang telah tiada itu, aku pilu.

Representasi Aku Bersamanya

Jauh beberapa tahun setelah kuburan kakekku kering, nenekku yang cantik hatinya dan jago memasak 'Kuah Pliek U' itu juga ikut menyusul sang kakek. Dan kini mereka dikubur di atas permukaan tanah yang berdekatan.
Doa cucumu menyertai kalian berdua..



Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Recent Posts

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Pages