Ketika seorang Sukarno berhasrat
sekali ingin memiliki pesawat terbang, Sukarno bersimpuh di hadapan Teungku
Daod Beureu-eh. Presiden pertama Republik lndonesiai tersebut sampai
merengek-rengek disana, "Aaaa..., neubloe nah, neubloe= Beliin
laah..." Aceh kala itu memang sedang dalam kondisi "paceklik di
berbagai lini" akibat rentetan kecamuk perang yang datang bertubi-tubi.
Tak kuasa mendengar rengekan, Teungku Daod merasa iba, "Boeh pajoeh bu bu
aju ile, urusan nyan kajeut kamoe pike= Ya sudah, dimakan dulu nasinya, urusan
ini (pesawat) serahkan sama kami."
Selang beberapa waktu pasca rengekan,
entah dari mana-mana saja kemudahan itu datang, hingga pada akhirnya berkat
sumbangan-sumbangan rakyat Aceh Pemerintah Indonesia memiliki pesawat terbang
sebagai alat transportasi udara Sukarno untuk bolak-balik luar negeri demi
kepentingan hubungan luar negeri. Sumbangan-sumbangan dari rakyat Aceh datang
dalam berbagai bentuk (non uang) yang kemudian diuangkan menjadi kumpulan
nominal uang.
Namun Pemerintah RI dibawah
kepemimpinan Sukarno saat itu "Lage leumo ta peutingoeh lam moen"
tidak tahu untung dan berterimakasih. Teungku Daod dikhianati, butiran
kesepakan yang sudah disetujui kedua belah pihak diatas hitam dan putih
diingkari.
"Meunyoe goet ureung Aceh peu
yang na geu peugala, nyoe hana goet ureung Aceh asoe leubeh geu boeh
harga" Inilah idiom yang cocok untuk merepresentasikan kedermawanan rakyat
Aceh di masa itu.
Dibawah komando Teungku Daod Beureueh
semua upaya dilakukan demi keberlangsungan negara RI. Segalanya dikorbankan
walaupun keberlangsungan hidup sendiri masih tunggang-langgang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.