Ini hari terakhirku makan siang di barak sumberboyong bersama empat
puluh tujuh orang pemuka pemuda diseluruh Indonesia dan para volunteer GMB yang
baik dan cantik hatinya. Setelah ini kami tidak lagi makan bareng sambil bercerita
secara bergantian, duduk melingkar, mengantri untuk mengambil makanan empat
sehat lima sempurna dari atas meja raksasa. Sejak dari tadi malam panitia gmb
sudah memperingatkan kami bahwa besok kalian akan berziarah diri, jadi tolong malam
ini silahkan kalian istirahat yang cukup, dan berkemas untuk perjalanan besok. Tang
ting, tang ting, suara sendok yang berbenturan dengan piring tak sengaja terdengar
olehku hingga masuk kedalam tulisan ini, yang berasal dari anak-anak GMB yang
sedang menikmati makan siang terakhirnya di barak pemuda-pemudi pilihan yang
Indonesia miliki.
Kawan, aku tidak pernah menciptakan pertemuan ini hingga kita berjumpa sampai
ke meja makan yang super wow dan tidak bisa kuprediksikan ternyata kesannya
seperti ini, masih membekas walau sudah sebulan kita berpisah. Sulit bagi aku
untuk melupakan semuanya, kadang sesekali terbayang suasana makan yang paling
berkesan itu, aku sampai membayangkan bagaimana bentuk meja kayu itu, kawan,
kondisi piring setelah kita makan seperti apa, yang di dalamnya ada bekas
sisa-sisa makanan pemuda-pemudi hebat, kulit pisang, dan tulang ikan lele yang
ku kangenin. Ada yang ingat gak, seperti apa cara duduk teman-teman kita saat
makan terakhir siang itu? Kalau aku sih bersila, seperti biasa karena takut
dibilang gak sopan ntar kalau aku gunakan cara yang biasa ku pakai. Kalau di
luar GMB kadang aku makan sambil jungkir balik gitu, sambil salto aneh deh
pokokya.
Kawan, masih ingatkah kalian tentang barisan antrian makan kita? Dimana
kita mengantri siang itu, di meja pertama atau di meja kedua, tapi ingat jangan
sampai ada yang menjawab di pom bensin (itu antrian BBM, bukan antrian makan).
Pernah gak kalian berfikir kok bisa ya kita berjumpa di jamuan makan yang
special dan seberkesan itu. Nah, lalu lintas-lalu lintas memori yang seperti inilah
yang terbayang saat aku sedang makan di tempat-tempat ramai atau saat aku
sedang makan sendiri.Barangkali diantara teman-teman kita dan volunteer, ada yang
makan sambil selonjoran siang itu, karena kecapean mungkin gara-gara ngikutin
senam yang dipimpin oleh pak dokter Julian. Kali aja iya, ampun pak dokter. Aku
tidak akan pernah melupakan obat yang pak dokter kasih saat malam terakhir kita
menginap di cibubur , juga tidak pernah kulupakan kebaikan Odit dan Soni yang
merangkulku membawaku ke kamar tidur karena malam itu aku memang sakit.
Maaf juga kepada semua teman-teman GMB karena dimalam terakhir yang
mengharu biru itu aku tidak sempat bersalaman dengan kalian, berpelukan haru dengan
teman-teman dan volunteer yang laki. Kawan, jangankan aku bersalaman dengan
kalian, untuk bangkit berdiri saja aku sulit minta ampun, pernah kucoba
beberapa kali saja dan aku tidak kuat untuk melakukannya lagi. Soni entah Odit?
Aku tidak bisa mengenali wajah mereka malam itu karena lampunya mati, kedua
mahasiswa hebat ini malah menyarankan aku untuk tidur. coba tanyakan ke mereka
kalau gak percaya. Dimana dit, soni, aku terkapar? Aku terkulai lemas diatas
sofa diantara tetesan airmata perpisahan yang membuncah mengantar kita pergi
buat sementara. Tapi yang membuat aku bahagia, kalian tahu apa wahai kawan?
Huuuh, aku sempat menceritakan kesan dan kesanku selama berada di GMB bersama
kalian, dan juga aku sempat mendengar kesan teman-teman, bang Az, kak Aya selama
ada disini, di GMB. Itu yang mebuat aku bahagia kawan, bahkan aku mendengar sendiri kesan dari seorang teman di malam terakhir kita di GMB, dia mengakatakn. "Aku takut sama bang Munawar karena dia jarang sekali senyum." Baru setelah itu aku terkulai diatas sofa.
***
Siang minggu di bulan februari. Aku medekatkan jam tangan ke telingaku,
tik, tik, tik, memposisikannya seperti alat hitung mundur sebelum kaki
mendekati garis start pelepasan anak-anak GMB untuk berziarah diri. Juga
kutaruhkan telapak tangan tepat diatas letak jantungku berdetak, aku ingin
mendengar apakah degupannya siang ini berbeda dengan siang-siang lain, siapa
tahu degupannya seperti pukulan perkusi teman-temannya mas hambar disini
semalam (di sumber boyong) sebelum kami tidur. Menjelang pukul satu siang,
suasana di sumber boyong sedikit gaduh, canda tawa bertemu dibawah atap
perkumpulan. Ada yang ngobrol sesama temannya, ada juga yang baru berkenalan
seperti aku karena aku baru-baru di tengah-tengah mereka. Yang lebih
menyedihkan lagi ada yang murung sendiri dipojokan, itu aku karena meragukan
kesiapanku untuk berziarah diri ke wilayah orang. “Aku bisa gak ya, sementara
aku belum pernah kesana.” Berkerja keras untuk menenangkan hati yang sedang
berkecamuk hebat.
Beberapa menit lagi mas hambar akan mengambil alih sesi, tangannya sudah
memegang selembar kertas hvs putih berisi coretan-coretan kasar “peta perjalanan.”
Memang lah mas hambar, bagi aku untuk kegiatan GMB ini, semua orang yang
terlibat di dalam GMB patut berterima kasih kepada mas hambar, seorang pemuda
kreatif yang sebentar lagi akan melangsungkan pesta prnikahannya. Bagi aku, untuk sesi GMB di Jogja mas hambar
lah ‘hero’nya. Sejak dari kemarin-kemarin mas hambar memang sudah
memperlihatkan dedikasi dan totalitasnya untuk semua keperluan acara GMB. Mulai
dari sekretariat Anak Wayang Indonesia (AWI) yang rela dijadikan sebagai tempat
registrasi peserta dan tempat istirahatku pas baru-baru nyampek ke Jogja, terus
meluangkan waktu untuk menciptakan lagu-lagu GMB, mengumpulkan teman-temannya
untuk memeriahkan acara kita lewat gaungan suara music dan aksi pantomim, yang
sampai siang ini masih terus terbayang seperti apa gerak patah-patah mas fabian
dalam aksi pantomimnya.
Kalau bukan hero apa coba namanya, sulit loh mencari orang yang punya
totalitas berbuat seperti mas hambar riyadi ini. Jangan lupa, transportasi dan
homstay kita selama di barak juga mas hambar yang urus. Kenapa GMB sesi Jogja
bisa se wooow itu? Itu semua berkat usaha dan kerja keras pemuda Jogja yang
ulung dan jago memetik gitar tersebut. Kalau saja satu hal lagi sempat mas
hambar mewujudkannya, yaitu membawa kita ke tempat peternakan sapi, untuk meminum
susunya langsung dari sumber asli milik si sapi itu sendiri, sudah pasti
semenjak hari itu kita sudah dan bakalan sehat selamanya. Tapi sayang susu sapi
lagi krisis hari itu karena sapi-sapi yang dikandangin disana lagi terkena
gangguan psikis, si sapi galau hingga berakibat tidak ada susu yang bisa kita
minum pagi itu. Terima kasih mas hambar atas kebaikannya, matur nuwun, mas.
***
Aku lebih sering melihat jam di tanganku, ketimbang melihat jam dinding
atau jam di hp dalam hal mensiasasti waktu (mensiasati dia juga gitu, kapan dan
jam berapa dia harus ku sms, kapan dia kujemput, jam berapa tepatnya chatting
antar provinsi sama dia, dan kapan dia kuajak makan malam), hehe just kidding,
serius aaamat.
Pembagian kelompok sudah dimulai. Mas Hambar sudah berdiri di
tengah-tengah peserta GMB yang sudah sedaritadi ingin mendengarkan pembacaan
keputusan untuk berziarah diri. Disamping kanan kiri mas hambar berdiri nampak
lebih dari tiga puluh ransel besar berwarna warni mensesaki setiap sudut yang
ada, itu semua milik pemuda-pemudi tangguh yang sebentar lagi akan dilepas
untuk menemukan jati dirinya di jalan, terminal, stasiun, trotoar dan pasar.
Sedikit lagi mas hambar melayangkan pandangannya ke tangga akan terlihatlah
disana sandal dan sepatu yang tertata rapi, walau sebenarnya sih amburadul dan
irregular (tidakberaturan).
Ups, maap, gak sengaja kebawa bahasa
Inggris, karena pasca pulang dari GMB aku keseringan baca-baca tabel kata kerja
regular and irregular verb di kamus bahasa Inggris. Abisnya sih anak-anak GMB yang dari pulau Jawa dan
Jakarta, seperti Bandung, Yogyakarta, Bogor, eummm… mereka jago berbahasa
inggris, bahasa inggrisnya bagus pisan oiii, kayak bulek yang sering kujumpai
di sabang pas snorkeling di pantai iboih pulau weh. Bayangin deh, yang nge-MC
aja pakek bahasa Inggris, biasanya aku nonton di tipi-tipi gitu loh di acara
Mis Indonesia “semua mata kaki tertuju pada anda”. Aku ngiri sama mereka-mereka
ini, makanya sekarang aku belajar sedikit-sedikit tu bahasa. Mangap ya, eee maksud
ku maap kalau bahsa inggris sudah masuk ke tulisan ini.
***
Siang ini, aku dan dua lagi temanku yang cewek diharuskan bersatu dalam
satu grup perjalanan untuk mengemis dan menderma di dua daerah yang ada di
seputaran Jawa tengah, purwokerto dan bumi ayu. Mulai hari ini sampai tiga hari
kedepan kami bertiga akan berjuang bersama-sama, menangis bersama-sama, dan
bernyanyi bersama-sama hingga mencapai garis finish di cibubur. Perjalanan pun
dimulai, aku, dian, dan ana stnk, yang katanya kami ini adalah manusia diatas
rata-rata yang terpilih mulai melangkahkan kaki untuk mengenali diri di alam
terbuka. Tiga orang manusia diatas rata-rata yang kami perankan ini masuk dalam
urutan angka 15 pada pembagian kelompok
perjalanan ziarah diri bersama Gerakan Mari Berbagi.
Selesai membagikan kelompok dan penetapan daerah mengemis dan menderma,
tugas mas hambar selanjutnya adalah mengantar kami ke terminal, yang rute
perjalanannya dimulai dari sumber boyong menuju terminal kiwangan Jogja. (Duuuh,
mas hambar ini baik banget deh).
Sebagian teman-teman yang satu bus dengan kami
ada yang turun setengahnya di separuh perjalanan menuju terminal bus kiwangan.
Mereka turun sesuai dengan penempatan di daerah mana yang telah diputuskan oleh
panitia. Yang diantar mas hambar hingga terminal Kiwangan hanya kelompok,
Yuslizar, Munawar, Odit, Julian, Monitta, dan aku munawar. Kami dilepas mas
hambar di terminal kiwangan, untuk selanjutanya mencari angkutan sendiri guna
menuju daerah mengemis dan menderma masing-masing. Sampai disini ya mas hambar,
nanti kita bertemu lagi di cibubur Jakarta, Aku masih pengen mendengar petikan
gitarmu, greget suara angklung teman-temanmu, dan pukulan perkusi dari mereka.
GMB itu memang WOWW...
BalasHapus