Menulis Karena Gelisah Terhadap Sesuatu..

Nek Yat dan Temanku yang Lurus



Cerpen ini sudah pernah dimuat di Harian Serambi Indonesia, edisi Minggu 10 Maret 2019

Ban mobil yang terbuat dari bekas sandal jepit terus berputar di jalan kecil. Replika mobil itu membentuk truk yang terdapat bak di bagian belakangnya. Dalam bak penampungan itu diisi ranting-ranting kayu yang berukuran kecil. Anak-anak mendorong mobil itu menggunakan kayu  yang telah dikaitkan sedemikian rupa pada bagian belakang mobil, sehingga kayu itu juga berfungsi sebagai setir yang dapat mengatur mobil berbelok ke arah mana saja.

Tidak hanya satu, anak kecil secara bergerombolan datang ke hutan untuk mencari ranting kayu lalu membawanya pulang menggunakan truk mainan mereka. Sesampai di kampung kayu-kayu bakar itu diantarkan ke rumah Nek Yat, seorang janda ditinggal pergi oleh suaminya. Nek Yat hidup seorang diri di sebuah rumah tua berdinding kayu. Apabila Nek Yat memasak menggunakan tungku, maka asap akan keluar dari celah dinding.

Sudah menjadi semacam tradisi bahwa setiap hari libur, paginya anak-anak di kampung itu pergi ke hutan mencari ranting kayu bakar. Masing-masing membawa serta truk yang nantinya akan diisi penuh dengan kayu bakar. Ranting kayu bakar itulah kemudian diberikan kepada Nek Yat. Yakinlah, anak-anak itu sebenarnya tidak begitu peduli dengan Nek Yat. Yang mereka tahu hanya senang-senang ke hutan lalu membawa pulang sesuatu.

Tapi bagi Nek Yat, kebaikan hati anak-anak kecil ini adalah hal yang luar biasa. Ranting-ranting kayu bakar yang dibawa pulang setiap akhir minggu merupakan hadiah terbesar baginya. Hingga setiap kali anak-anak mengunjungi Nek Yat lengkap dengan membawa kayu bakar, Nek Yat selalu mengusap ujung matanya menggunakan selendang panjang yang ujungnya diikat—tempat uang terbungkus di dalamnya. Nantinya, ketika Lebaran, uang itu diberikan kepada anak-anak dengan senang hati. Anak-anak pun menerimanya dengan suka-cita. Tak jarang pula Nek Yat dengan susah payah, karena tubuhnya sudah bungkuk,  berjalan keluar rumah untuk menyambut kedatangan anak-anak pembawa kayu bakar itu.

Sambutan Nek Yat membuat anak-anak senang bukan kepalang. Minggu berikutnya mereka akan mencari kayu bakar dengan jumlah dua kali lipat. Semua demi Nek Yat. Bahkan ada anak-anak yang tidak memiliki mobil berusaha keras mencari papan bekas dan sandal jepit putus demi memiliki sebuah mobil
***
Ini kampung. Suasana kampung. Keadaan kampung. Dan orang-orang kampung. Di kampung ini terdapat sebuah lapangan bola. Lapangan bola yang dibangun dan dibenahi bersama-sama oleh anak muda dan anak-anak. Setiap setahun sekali, anak-anak muda dan juga anak-anak yang bahkan belum lancar membaca mengadakan gotong-royong untuk mengurus lapangan bola ini. Mereka merapikan rumput, kalau tidak dikatakan memangkas habis rumput. Ada di antara mereka yang menggali lubang untuk dipasangkan tiang gawang. Ada di antara mereka yang pergi mencari batang bambu untuk dijadikan gawang. Dan bahkan ada di antara mereka yang merancang bangku penonton.

Lapangan bola ini boleh digunakan oleh siapa saja. Boleh digunakan oleh anak-anak hingga ayah anak-anak. Namun, pada sore hari sepulang mengaji, lapangan ini kerap kali digunakan oleh anak-anak, terutama saat mereka tidak berenang di sungai. Suatu waktu, seorang anak pulang ke rumah setelah berenang di sungai dengan menangis tersedu-sedu sebab tidak tahu lagi kancutnya tersangkut di mana.

Bila tiba saatnya mereka bosan mandi di sungai, maka bermain bola adalah pilihan yang sering dilakukan. Mulanya mereka membagikan diri menjadi dua tim dengan jumlah seimbang. Kemudian mereka bermain bola seperti biasa. Tapi, tidak dapat dikatakan seperti biasanya juga. Bagaimana tidak, sebelum bermain mereka telah lebih dahulu mengumpulkan uang dengan jumlah yang telah ditentukan per orangnya. Uang menang katanya. Nanti, setelah permainan selesai, uang itu akan diserahkan dengan panuh hormaat, tapi belum tentu penuh ikhlas kepada kelompok yang menang. Sedangkan kelompok yang kalah, silahkan telan ludah dan pulang.

Sebagian besar dari mereka mengetahui bahwa cara ini tidak bagus. Bahkan dapat disamakan dengan judi, begitu amanat yang sering disampaikan oleh guru ngaji mereka. Alhasil ketika sampai di lapangan ada anak-anak yang dikategorikan sebagai anak lurus, dia selalu terngiang-ngiang akan amanat guru ngajinya itu. Tapi dia tidak mundur dari permainan. Sebab mundur dari permainan sama dengan mengurung diri dalam kesepian. Anak yang lurus ini, begitu sebutannya, memilih tetap bermain, akan tetapi setiap uang yang diperolehnya dari menang main bola tidak dibawa pulang. Jika dibawa pulang dia teringat bawa itu uang haram, maka bisa celaka rumah beserta seluruh isinya. Tidak juga dia makan, sebab bila dalam darahnya mengalir uang haram, maka doanya tidak akan pernah dikabulkan Tuhan. Jadi, si anak lurus ini mengambil jalan tengah. Diletakkannya uang haram itu dengan tersembunyi dan penuh rahasia di bawah batu di sudut lapangan bola. Nah, besoknya uang itu akan digunakan lagi untuk bertaruh dengan teman-temannya pada permainan selanjutnya. Dengan begitu, pikirnya, dia akan selamat dunia akhirat sebab tidak mengalir dalam tubuhnya uang haram dan tidak pula hadir di dalam rumahnya uang yang tidak benar.
****
Aku baru saja menerima kabar bahwa Nek Yat sudah berpulang kemarin sore. Dia menutup matanya dengan tenang. Namun, tidak ditemani oleh anak-anak kecil pembawa kayu bakar yang kini telah merantau ke daerah lain demi mencari pekerjaan yang layak. Beberapa teman-teman masa kecilku, sesama bocah pembawa kayu bakar turut berduka untuk berita tersebut. Tenang Nek Yat, kayu bakar akan digantikan dengan hal lain yang jauh menyenangkan di sana.

Tidak ingin larut dalam duka kematian  Nek Yat, aku juga teringat pada temanku yang lurus itu. Temanku yang takut akan uang haram itu. Aku juga teringat pada aroma sawah. Aku juga teringat pada berbagai permainan yang kerap kami lakoni sepulang dari mengaji. Dan rasanya ingin sekali mengulang atau sekurang-kurangnya melihat tempatnya yang sekarang entah bagaimana bentuknya saja sudah mengobati sedikit rindu.

“Nak, itu yang Bapak lakukan semasa kecil dulu. Setiap pulang mengaji kami menyusun sandal menghadap ke langit. Kemudian, kami melakukan ritual hom pi pa untuk menentukan satu orang sebagai penjaga sandal-sandal yang telah disusun itu. Sore itu kebetulan yang bertugas menjaga sandal adalah Sabri, sedangkan teman-temannya yang lain bersembunyi dari Sabri. Adapun Sabri berusaha mati-matian menjaga sandal itu sekaligus mencari temannya yang bersembunyi. Sebab bisa fatal bila salah satu temannya yang bersembunyi itu sampai berhasil menghancurkan susunan sandal yang dijaga Sabri. Karena itu artinya, Sabri mendapatkan tugas menjaga sandal-sandal itu lagi. Namun, apa hendak dikata, sampai akhir permainan, Sabri masih pada posisi semula. Dengan kelihaian teman-temannya, Sabri tidak pernah berpindah posisi. Selalu saja sandal-sandal yang tersusun itu berhasil dihancurkan oleh salah seorang temannya. Dan hingga akhirnya, Sabri terpaksa menyusun sandal-sandal itu dengan satu tangan sebab satu tangannya lagi sibuk menyeka air mata. Selain itu, kami juga bermain pistol-pistolan yang kami buat dari batang bambu yang kemudian pelurunya kami isi dengan bunga jambu. Nak, yang seperti itu sangat menyenangkan.” Aku menengadah ke langit. Seakan masa kecilku tergambar jelas di sana. Dari teras ini seakan-akan aku dapat kembali melihat masa kecil dan teman-temanku mendorong mobil-mobilan yang berisi kayu bakar. Dari teras rumah ini seakan aku dapat melihat kawanku yang lurus itu menyembunyikan uangnya di balik batu dengan sangat rapi.
“Nak, itu benar-benar menyenangkan.”

“Aku tak paham, Pak, pada semua yang Bapak ceritakan.” Anak itu menjawab dengan jari masih terus menyentuh layar telepon pintarnya.

Banda Aceh, 14 Februari 2019
Munawar. Penulis adalah penikmat seni peran dan aktif di komunitas teater di Banda Aceh.

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Recent Posts

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Pages