Menulis Karena Gelisah Terhadap Sesuatu..

Dilema Ijazah

Tujuan dari seseorang sekolah barangkali supaya dia tahu bagaimana cara menikmati hidup setelah tamat sekolah nanti. Dan sudah siap dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan yang harus dihadapi, bahkan kemungkinan terburuk sekalipun. Sebab gambaran umum tujuan orang-orang sekolah hari ini salah satunya untuk mendapat pekerjaan. Tapi sebetulnya, kalau kita mau membuka mata lebar-lebar untuk melihat dengan atas apa yang sedang terpampang, tentunya seseorang akan depresi berat kalau saja menempatkan sekolah sebagai tujuan memperoleh pekerjaan. 

Mengingat betapa sulit persaingan global di dunia professional dan tuntutan kerja saat ini. Semoga saya tidak berlebihan mengatakan: jika saja tujuan dari pendidikan adalah mencari pekerjaan, dengan melihat kenyataan dan garis ketetapan zaman akhir-akhir ini yang semakin menjamurnya pengangguran dari tahun ke tahun, maka jelas akan banyak orang terdidik yang akan mengalami tekanan dan gangguan jiwa karena tidak memiliki pekerjaan setelah tamat sekolah-dan mereka harus dipaksa belajar menikmati hidup di rumah sakit jiwa. Ini belum lagi dengan tuntutan kawin yang bisa memperparah keadaan.
Mulai dari kata ijazah
Jujur, saat membuat postingan ini, aku sudah beberapa kali menghidupkan korek api jenis yang berbiji, tapi selalu saja gagal bersebab koreknya basah kena air hujan setelah air hujan itu mengguyuri sekujur tubuhku termasuk mengguyuri celah dimana korek kusimpan. Tujuan aku menghidupkan korek untuk membakar lembaran ijazah yang oleh banyak orang dianggap mulia binti berharga itu.
Sekarang ini, lembaran kertas yang menurut orang banyak paling berharga itu bukanlagi barang langka yang sulit dimiliki. Tanpa sekolahpun jika seseorang punya jaringan yang mendukung (tentunya dengan tidak melupakan uang), selembar ijazah bisa dengan mudah dimiliki dengan cara membelinya. Bagi anak didik yang ulet, serius dan fokus di dunia pendidikan, ijazah sudah barang pasti didapat. 

Tetapi fakta lain: apakah kita tahu sudah berapa jumlah orang terdidik dan tidak terdidik (jalan pintas-beli ijazah) yang sudah mengantongi ijazah sampai hari ini. Mulai dari lulusan perguruan tinggi negeri hingga swasta? Aku juga tidak tahu. Lagian mana ada orang gila (kurang kerjaan) yang mau menghitungnya. Dan umumnya dari mereka yang berstatus pengangguran dan hari ini punya legalitas yang dalam dunia pendidikan dikenal dengan sebutan ijazah.


Satu tahun setelah divonis menjadi alumni dari salah satu "sekolah" yang biasa-biasa saja yang ada di tanah ini (dibaca dengan nada remeh dan loyo), aku bingung: berpikir kemana lagi aku harus melangkah? Seperti: koran-koran dan situs-situs penyedia lowongan kerja sudah lama menjadi sajian dan santapan yang tidak mungkin kulewatkan untuk tidak kubaca. Tetapi semua persyaratan diterima kerja yang tertera di halaman lowongan pekerjaan, sedikit sekali yang melekat padaku selain dari tinggi dan berat badan ideal serta memiliki berijazah. Sementara persyaratan lain nol besar, tak ada yang menempel padaku. Ditambah lagi dengan usiaku yang sudah seumuran "pohon beringin". Nasib, nasib.. ini yang membuatku sangat sulit diterima dimana-mana, termasuk di hati "dia".

Keadaanku masih begitu-begitu saja, sebagai Pengacara (Pengangguran Tiap Acara). Hampir setiap malam, sebelum tidur aku mengambil sesuatu yang sudah lama  kuselipkan dibalik kasur butut yang kapasnya berserak tapi tetap wangi (seharusnya). Sebuah map yang berisikan kertas berharga yang telah kuperjuangkan hingga empat tahun setengah lamanya. Kuambilkan isi map itu, lalu ku perhatikan "ia" lekat-lekat serta penuh penghayatan pada masa perjuangan dalam meraihnya. Di bawah sorotan boh lam yang sedikit meredup aku meratapi nasib pada selembar ijazah dan transkrip nilai yang tertoreh nilai biasa-biasa saja: nilai yang cuma cukup untuk melamar menjadi seorang hansip di kampung calon mertua. Aku merasa depresi tingkat dewa dan itu kurasakan selama berhari-hari.
Pagi ini aku bangun tidur masih dalam keadaan dan nasib yang sama. Masih menjadi Pengacara (Pengangguran Tiap Acara). Karena nasibku belum juga berubah, hingga di suatu pagi aku memutuskan untuk menghibur diri dan dunia kesenianlah yang akhirnya menolongku.


"Get the hell are here, you sit on my chair!!"




Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Catatan: Hanya anggota dari blog ini yang dapat mengirim komentar.

Recent Posts

Recent Posts

Unordered List

  • Lorem ipsum dolor sit amet, consectetuer adipiscing elit.
  • Aliquam tincidunt mauris eu risus.
  • Vestibulum auctor dapibus neque.

Support

Need our help to upload or customize this blogger template? Contact me with details about the theme customization you need.

Pages