Kebutuhan manusia terhadap suatu
informasi menjadi satu hal yang sangat penting. Hal ini dapat kita ketahui
bersama, untuk sekarang ini informasi menjadi suatu jalan penuntun hidup
manusia untuk mengenal lingkungan dan sekitarnya. Dengan kata lain tanpa adanya informasi, maka
ketika manusia menjalani hari-harinya pasti akan akan menemukan sisi kehidupan
dan pengetahuan yang serba hampa.
Ini mengisyaratkan supaya kita haus
dan lapar akan informasi. Sebagaimana menurut Willbur Schramm yang dikutip
dalam buku Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature karya AS Haris
Sumadiria, mendefinisikan, “Informasi adalah segala yang bisa menghilangkan
ketidak pastian.” Sistem dan cara kerja suatu informasi,
tidak membatasi para pengakses untuk mendapatkan informasi tersebut dengan
sebanyak-banyaknya. Keberadaan media massa sebagai ruang atau portal penyedia
informasi sangat mendukung kita untuk mendapatkan semua itu. Antara media massa
dan informasi bagaikan dua sisi mata uang yang saling berdekatan, keduanya
memiliki keterkaitan erat satu sama lain. Informasi akan begitu mudah dan cepat
tersiar dengan adanaya perantara media massa dan dukungan teknologi yang
canggih.
Media pun akan terlihat cacat dan
tidak berarti apa-apa apabila tidak ada suatu informasi yang disampaikan kepada
publik. saya rasa tidak berlebihan jika kita mengatakan media hadir untuk
mempermudah kita dan mempercepat lajunya proses penyampaian informasi hingga
sampai kepada sasaran yang dituju. Ada yang kian luput dari pandangan kita
bahwa infomasi yang disampaikan begitu kompleks ternyata tidak terjadi begitu
saja. Semua itu tidak lepas dari proses komunikasi yang dibangun, kerja sama
dan keterkaitan semua unsur komunikasi, adanya komunikator, pesan , media/
alat, dan audiens/ komunikan.
Seiring dengan berkembangnya ilmu
komunikasi, maka definisi jurnalistik pun makin berkembang. Hal ini juga sesuai
dengan perkembangan media pers. Adinegoro, seorang tokoh pers yang menjadi ikon
di kalangan para wartawan, mendefinisikan jurnalistik sebagai kepandaian
mengarang untuk memberi pekabaran pada masyarakat dengan selekas-lekasnya agar
tersiar seluas-luasnya. Disiplin ilmu komunikasi yang
melingkupi bidang jurnalistik kini semakin ramai menjadi kajian bersama. Ada
beberapa perguruan tinggi yang sudah memiliki kompeten dan memiliki kapasitas
ilmu dan dasar kajian, akhir-akhir ini telah menggalang suatu keinginan untuk
menghadirkan ilmu jurnalistik masuk kedalam sebuah jurusan, walau terkadang
dalam skala kecil lebih diletakkan pada tatanan prodi. Kiranya dengan hadirnya
kajian ilmu jurnalistik bisa lebih berperan secara mendalam dan bertahan dalam
proses belajar mengajar, jika saja ini dihadirkan di perguruan tinggi.
Meskipun perguruan tinggi menjadi
ranah penguatan keberadaan akan pengembangan kajian jurnalistik, bukan berarti
dalam perkembangannya pihak perguruan tinggi menolak suatu lembaga kecil untuk
mempelajari, meneliti dan mengembangan kajian di bidang jurnalistik. Telah
berdiri suatu lembaga pendidikan jurnalistik yang levelnya non formal, yang
mencoba menghadirkan secara konsep semi-akademis untuk menekuni disiplin ilmu
ini. Hadirnya Muharram Journalism College yang berlokasi di lingkungan kantor
AJI Banda Aceh, adalah jawabannya.
"Muharram Journalism College
(MJC) merupakan sekolah jurnalistik pertama yang ada di Aceh, mulai diresmikan
22 November 2008 di Banda Aceh. Pada peresmian langsung dilakukan Bekti Nugroho
yang mewakili Dewan Pers serta Debra Bucher utusan Development and Peace,
lembaga non pemerintah asal Kanada. Nama MJC diambil dari salah satu mantan
ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Kota Banda Aceh, Muharram M. Nur dan
dia juga bekerja di Tabloid Kontras. Muharram yang menjadi korban tsunami 2004
saat melakukan tugas liputannya yang mengabadikan penjara Kajhu yang hancur
akibat gempa. Muharram juga merupakan wartawan yang handal, profesional, berani
dan bertanggungjawab." Sumber: Arsip MJC
Terbentuknya sekolah Jurnalis ini
akibat pesatnya pertumbuhan industri media di Aceh, hingga mendorong AJI Kota
Banda Aceh menggagas atau mendirikan lembaga pendidikan jurnalistik. MJC
berupaya mendorong perkembangan media kearah kualitatif demi arus informasi
yang lebih ideal. Spesifikasi kurikulum pendidikan MJC berfokus pada
peningkatan keahlian, etika serta studi perkembangan dunia jurnalistik.
Metodelogi pengajaran selain teori, praktik laboratorium komunikasi juga
praktik kerja magang. Targetnya, penyediaan sumber daya jurnalis profesional.
Bukan hanya kemampuan menulis yang
dibutuhkan untuk menjadi seorang jurnalis. Untuk itu MJC juga membekali
siswa-siswinya dengan pemahanan terhadap etika dan perspektif yang baik, soal
bagaimana seharusnya jurnalis dapat berperan dalam segala kondisi yang dihadapi
menyangkut isu-isu sensitif yang berkembang di tengah masyarakat. Selain itu
peserta didik juga dibekali dengan pemahanan terhadap aturan hukum yang
melindungi dan juga bisa mengancam jurnalis dalam melaksanakan tugasnya.
Proses belajar mengajar di Muharram
Jornalism college hampir sama dengan aktivitas belajar mengajar yang terjadi di
lembaga belajar formal, kuliah dan diploma-diploma. Hanya saja di sekolah ini,
melengkapi kesempurnaan sebuah proses belajar mengajar, pihak penyelenggara
sekolah sengaja memasukkan praktik internal (Lab) dan praktik eksternal
(Magang) kedalam aktivitasnya, disamping belajar teori dari buku-buku yang
bersinggungan dengan ilmu jurnalistik. Ilmu jurnalistik tidak statis atau
tetap. Disiplin ilmu ini akan selalu berubah, dan terus berkembang seiring
kemajuan teknologi yang ada di planet bumi, tempat yang sedang kita singgahi
ini. Akan mengalami perkembangan dan perubahan sesuai dengan perkembangan dari
kemajuan teknologi dan komunikasi. Sebelum internet akrab dengan dengan
kehidupan masyarakat, banyak orang yang tidak mengenal apa yang namanya media
online. Namun setelah terjadi upgrading terhadap teori jurnalistik, media
online dimasukkan kedalam salah satu media jurnalistik. Seiring itu pula banyak
buku-buku jurnalistik bermunculan yang menegaskan media online adalah bagian
dari surat tempat penumpahan karya tulis jurnalistik.
Ada beberapa teknik belajar mengajar
yang diadopsi dari perguruan tinggi, seperti yang dilakukan oleh para dosen
yang mengajar di universitas negeri maupun swasta. Sebagai contoh, seperti
diskusi. Pengajar menyampaikan presentasi materinya, memaparkan apa-apa saja
yang menjadi fokus pembahsan. Setelah itu siswa-siswinya diajak untuk terlibat
aktif mendiskusikan materi yang telah disampaikan. Selama proses belajar berlangsung,
para siswa-siswi akan di didik oleh para praktisi jurnalis yang sangat
berpengalaman. Pihak penyelenggara pendidikan sengaja mendatangkan
pemateri-pemateri dari berbagai elemen, asosiasi dan organisasi, mulai dari
wartawan, praktisi Hukum dan HAM, wawasan tindak pidana korupsi, serta
jurnalisme damai dan kebencanaan. Calon wartawan harus tanggap atas setiap
urusan yang dekat dengan kehidupan masyarakat, tidak semata-mata mencari berita
tetapi harus juga memahami kehidupan
sekitar.
Memiliki wawasan yang begitu rinci
tentang kehidupan masyarakat sekitar, merupakan suatu tuntutan yang harus
dijalankan oleh jurnalis dan calon jurnalis. Seorang calon wartawan harus peka
terhadap isu-isu yang berkembang di masyarakat yang tiada batasnya. Mengapa
dalam proses belajar mengajar pihak MJC memasukkan materi tentang isu-isu
kemasyarakatan. Jawabannya adalah karena wartawan adalah pelayan publik yang
menjadi perantara masyarakat dalam memperoleh informasi setiap harinya. Di samping itu juga, satu hal yang
tidak bisa dipungkiri adalah seorang wartawan, selain menyandang status sebagai
seorang jurnalis, dia sendiri juga sebagai masyarakat. Oleh karena itu sudah
sewajarnya mendapat pemahaman yang begitu komprehensif.
"Untuk mendidik wartawan-wartawan
maupun calon wartawan, pihak Muharram Journalism College menyiapkan tenaga
pengajar jurnalis yang berkapasitas profesional maupun praktisi media tingkat
nasional dan juga lokal. Sejak berdiri, pengajar MJC terdiri atas jurnalis
senior di Banda Aceh dan dosen tamu dari Jakarta. Tercatat, Dandhy Dwi Laksono
(penulis buku “Jurnalisme Investigasi), Farid Gaban (penulis dan mantan
Redaktur Eksekutif Tempo), Ahmad Arif (wartawan Kompas, penulis buku
“Jurnalisme Bencana, Bencana Jurnalisme), Ahmad Junaidi (The Jakarta Post),
Nezar Patria (Redaktur Pelaksana Vivanews.com, mantan Ketua AJI Indonesia), Eko
Maryadi (Ketua AJI Indonesia), Bekti Nugroho (Dewan Pers), Anggara (Ketua Badan
Pengurus ICJRI), Imam Wahyudi (IJTI, wartawan senior), Edy Suprapto (AJI
Indonesia, wartawan senior), dan Winuranto Adhi (AJI Indonesia), pernah
mengajar di MJC." Sumber: Website AJI Banda Aceh dan Arsip MJC
Harapannya, dengan dihadirkannya
tenaga-tenaga pengajar profesional tersebut semua rasa keawaman siswa-siswi
terjawab dan menemukan titik terang.
***
Berdirinya Muharram Journalism College
telah memberikan manfaat positif kepada masyarakat khususnya bagi remaja kota
Banda Aceh. Saat ini Muharram Journalism college menjadi satu-satunya wadah
untuk mendalami keilmuan bidang jurnalistik. Muharram Journalism College
menjadi pilihan Dikarenakan metode dan kurikulum yang diterapkan disana berbeda
dengan pendidikan formal, tidak hanya itu para mahasiswanya pun mendapatkan
kesempatan untuk mengaplikasikan semua ilmu yang didapatkan di bangku kuliah
juga pada saat mereka dimagangkan.
Magang?
Nah ini yang menarik.
Pihak Muharram Journalim College juga
menerapkan kerja magang untuk siswa-siswinya. Penting untuk diketahui, durasi
atau lamanya belajar di muharram journalism college, itu enam bulan penuh.
Empat bulan siswa-siswi akan belajar di ruang belajar MJC dan dua bulan lagi
akan dihabiskan untuk waktu magang dan menyelesaikan tugas akhir, sesuai dengan
jurusan yang mereka pilih.
Magang biasanya diakan di bulan bulan
kelima masa belajar. Di bulan ini, beberapa siswa-siswi akan dimagangkan ke
luar dari gedung (sekolah) MJC. Atau lebih tepatnya mereka akan diantar ke
kantor-kantor industri media lokal dan nasional yang telah ditentukan pihak
sekolah. Sebelum proses penempatan magang, peserta didik sudah lebih dulu
mengikuti midtes dan final tes. lewat hasil penilain inilah akan ditentukan
siapa-siapa saja yang berhak mendapatkan kesempatan kerja magang di Industri
media.
Hari pertama peserta magang akan bekenalan
dengan kru-kru kerja di tempat mereka magang. Juga menjumpai direktur industri
media untuk memperkenlakan keberadaan mereka selama satu bulan ke depan.
Hari-hari setelah itu, para peserta magang akan berbaur bersama awak media.
Masuk pagi, mengikuti rapat redaksi dan menentukan target pemberitaan. Selama
magang mereka layaknya awak media yang sedang bekerja di salah satu media.
Mereka boleh membawa pulang berita,
menggunakan perangkat kerja seperti kamera video, kamera foto, dan juga
berkesempatan untuk menayangkan berita hasil luputan dan temuan mereka
masing-masing di lapangan saat proses liputan atau reportase. Tentunya setelah
mendapatkan proses penyaringan dan diskusi dengan redaktur. Seperti itulah
setiap harinya, bekerja layaknya wartawan sungguhan, selama satu bulan penuh.
“Pantang pulang, tanpa membawa pulang berita,” itulah semboyan awak magang,
persis seperti sifat dan tututan kerja dari seorang jurnalis betulan. Semua ini dilakukan dan diikutsertakan
supaya mereka para siswa-siswi yang selama ini telah menempuh studi, tahu dan
mampu merasakan, bagaimana menjadi wartawan sungguhan dalam menjalankan
tugasnya menjadi seorang jurnalis. Mereka yang mendapat kesempatan magang
dituntut supaya benar-benar bisa memanfaatkan momentum ini sebaik mungkin.
Karena di siinilah tempat mereka bermain. “Iya, bermain dengan dunia pilihan
mereka masing-masing”.
Bereh Bapak Munawar
BalasHapusjroeh, teuku Iskandar
BalasHapus